Membangun Legitimasi dalam Menghadapi Yahudi Madinah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Bisakah persoalan dengan Yahudi Madinah diselesaikan hanya melalui pendekatan politik? Apakah kekuatan militer semata cukup untuk menghadapi Yahudi yang saat itu telah bersekutu dengan kaum Musyrik Quraisy dan golongan Munafik di dalam kota?
Ketika Rasulullah ï·º hijrah ke Madinah, beliau tidak sekadar menemukan tempat perlindungan, melainkan menghadapi realitas baru: komunitas Yahudi yang telah lama mapan, memiliki kekuatan ekonomi, jaringan politik, dan militer yang solid. Sementara kaum Muslimin sendiri baru saja keluar dari fase penindasan di Mekkah, dan sedang dalam proses membangun kekuatan internal.
Menghadapi situasi ini, Rasulullah ï·º tidak serta-merta mengandalkan kekuatan militer atau manuver politik. Beliau lebih dulu membangun legitimasi hukum dan moral—dasar yang mutlak diperlukan untuk menegakkan keadilan dan menjaga stabilitas sosial. Tanpa legitimasi, kekuatan politik dan militer akan kehilangan pijakan. Dukungan masyarakat tidak akan mengakar, dan kesadaran kolektif untuk bertindak tidak akan tumbuh.
Sebagai langkah strategis, Rasulullah ï·º menggagas dan menyusun Piagam Madinah—sebuah dokumen sosial-politik yang kini dapat disebut sebagai "undang-undang dasar" negara kota Madinah. Piagam ini menyatukan berbagai suku, agama, dan kepentingan dalam satu kerangka kebangsaan yang baru, di bawah kepemimpinan Nabi ï·º sebagai pemimpin tertinggi.
Dalam dokumen ini, semua komunitas di Madinah, termasuk Yahudi, diakui hak dan kewajibannya secara adil. Mereka mendapatkan jaminan kebebasan beragama, tetapi juga terikat pada prinsip keadilan bersama dan pembelaan kolektif terhadap Madinah jika diserang pihak luar.
Namun, ketika beberapa kelompok Yahudi melanggar kesepakatan tersebut—berkhianat, menjalin aliansi dengan musuh Islam, dan bahkan merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah ï·º—maka tindakan tegas pun diambil. Bukan berdasarkan kebencian agama, tapi atas dasar pelanggaran terhadap perjanjian yang disepakati bersama.
Inilah kekuatan legitimasi yang dibangun oleh Rasulullah ï·º: keputusan untuk menindak tegas dilandasi oleh kesepakatan hukum bersama, bukan oleh tekanan emosional atau sekadar kekuatan militer. Dengan ini, kebenaran ditegakkan bukan hanya dalam bingkai teologi, tetapi juga dalam kerangka sosial-politik yang rasional dan dapat diterima oleh semua pihak.
Rasulullah ï·º tidak memilih jalan kekerasan saat ketegangan memuncak. Beliau memilih jalan hukum dan keadilan, karena beliau bukan sekadar pemimpin perang, tapi pembangun peradaban.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif