basmalah Pictures, Images and Photos
Juni 2025 - Our Islamic Story

Choose your Language

Zubair bin Awwam: Ksatria Surga, Dermawan Dunia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Zubair bin Awwam ra. bukan sekadar sahabat Nabi ï·º. Ia...

Zubair bin Awwam: Ksatria Surga, Dermawan Dunia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Zubair bin Awwam ra. bukan sekadar sahabat Nabi ï·º. Ia adalah sepupu Rasulullah, menantu Abu Bakar, dan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Ia terkenal dengan keberaniannya di medan perang, tapi di balik baju zirahnya, tersimpan keahlian luar biasa dalam mengelola harta.

Harta di tangan Zubair bukan sumber kemewahan, tapi sarana perjuangan. Ia wafat dalam keadaan tidak menyisakan utang yang menyulitkan, dan warisan yang ia tinggalkan dibagi secara adil, sesuai syariat.

Berikut enam sisi keteladanan Zubair dalam mengelola uang:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Bertanggung Jawab Tanpa Berlebihan

Zubair dikenal sebagai kepala keluarga yang berani, disiplin, dan adil. Ia mendidik anak-anaknya dengan ketegasan dan nilai keberanian, tapi juga memberi nafkah secara cukup dan halal.

Istrinya, Asma’ binti Abu Bakar, meriwayatkan bahwa ia pernah membantu memelihara kuda dan menggiling biji-bijian sendiri, karena kondisi ekonomi mereka masih sulit di awal pernikahan. Namun Zubair tidak pernah membebani istrinya secara berlebihan, dan tetap berusaha meningkatkan taraf hidupnya secara halal.

Ketika kekayaan datang, Zubair tetap mendidik anak-anaknya untuk tidak tergoda dunia. Ia mengajari mereka tanggung jawab dan warisan yang sesungguhnya: iman dan keberanian.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Aktif, Produktif, dan Terukur

Zubair adalah seorang sahabat yang sukses dalam bisnis properti dan investasi. Ia membeli tanah-tanah di berbagai kota seperti:

Madinah

Basrah

Kufah

Mesir


Ia menjadikan tanah tersebut produktif, baik sebagai lahan pertanian, perdagangan, maupun sewa. Ia membangun sistem pengelolaan dan pencatatan, serta menjauhi transaksi haram dan riba.

Namun bisnisnya tidak membuatnya lemah dalam jihad. Ia tetap ikut hampir seluruh peperangan di masa Nabi ï·º dan para khalifah sesudahnya. Harta tidak pernah mengalahkan semangat jihadnya.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Sangat Hati-Hati dan Terencana

Zubair bin Awwam sangat berhati-hati dalam masalah utang. Bahkan menjelang wafatnya, ia berkata kepada anaknya, Abdullah bin Zubair:

“Anakku, utangku banyak. Aku khawatir tidak bisa menunaikannya.”

Padahal ia tidak berutang dalam arti meminjam uang. Zubair justru sering menjadi penjamin orang lain, dan karena itu ia menganggapnya sebagai tanggung jawab penuh.

Ia meninggalkan wasiat untuk melunasi semua utangnya lebih dulu, sebelum warisan dibagikan. Ia berkata:

“Jika engkau tidak sanggup melunasi, mintalah pertolongan Allah.”

Hasilnya? Abdullah bin Zubair berhasil melunasi seluruh utang ayahnya dan masih menyisakan warisan yang sangat besar. Ini menunjukkan bahwa Zubair bukan hanya kaya, tapi tertib dan amanah.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Tidak Pernah Mengambil Hak Umat

Zubair bin Awwam tidak pernah mengambil bagian dari kas negara untuk kepentingan pribadi. Ia hidup dari bisnis dan usahanya sendiri.

Ia tidak pernah korupsi, tidak memanfaatkan kedekatannya dengan Nabi ï·º atau para khalifah untuk memperkaya diri. Ia menolak fasilitas istimewa dan memilih hidup mandiri.

Bagi Zubair, uang negara adalah milik umat. Ia tidak pernah ingin mengotorinya dengan tangan sendiri.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Jabatan Demi Persatuan

Zubair bin Awwam tidak pernah menjabat posisi administratif dalam pemerintahan. Meski ia punya pengaruh dan kecakapan, ia lebih memilih berada di medan perang.

Namun ketika diminta bergabung dalam Dewan Syura setelah wafatnya Umar bin Khattab, ia menerimanya sebagai amanah, bukan jalan ke jabatan.

Ia menolak menjadi khalifah karena tidak ingin memecah belah umat. Ia lebih rela meninggalkan gaji dan kekuasaan, daripada menjadi penyebab perpecahan.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Jelas, Adil, dan Penuh Amanah

Menjelang wafat, Zubair berkata kepada anaknya:

 “Segala utang dan jaminanku anggaplah sebagai utang wajib. Lunasilah sebelum kamu membagi warisan.”

Ia mewasiatkan agar semua tanggung jawab keuangan diselesaikan dulu. Ia memberikan daftar utang dan aset secara rinci. Di antara harta warisannya:

Sebidang tanah yang luas di Ghabah (wilayah Madinah)

Tanah-tanah di Irak, Mesir, dan Syam

Rumah-rumah dan aset properti yang produktif


Setelah semua utangnya dilunasi, anak-anaknya menerima warisan yang luar biasa besar. Namun mereka juga mewarisi etika kehati-hatian dan amanah dalam harta.



Penutup: Ksatria Dunia, Ahli Akhirat

Zubair bin Awwam adalah pedang di medan perang, dan pena di dunia perencanaan harta. Ia membuktikan bahwa keberanian di medan jihad bisa berjalan seiring dengan ketertiban dan kehati-hatian dalam ekonomi.

 Ia bukan hanya syahid dalam perang, tapi syahid dalam mengelola amanah harta.
Ia bukan hanya pemilik tanah di dunia, tapi juga pewaris surga di akhirat.

Zubair mengelola uang bukan dengan hawa nafsu, tapi dengan iman dan rasa takut kepada Allah. Itulah sebabnya hartanya barokah, dan namanya harum hingga hari ini.

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah: Amanah dalam Perang, Zuhud dalam Harta Oleh: Nasrulloh Baksolahar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra. adala...


Abu Ubaidah bin Al-Jarrah: Amanah dalam Perang, Zuhud dalam Harta

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra. adalah sahabat pilihan yang dijamin surga. Rasulullah ï·º pernah bersabda:

“Setiap umat memiliki penjaga kepercayaannya, dan penjaga kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ia adalah panglima militer yang menaklukkan wilayah Syam, gubernur agung di masa Umar, dan pemimpin pasukan dalam banyak kemenangan. Namun di balik kepemimpinan besar itu, ia menjalani hidup yang sangat sederhana—seolah tak memiliki apa-apa.

Inilah teladan Abu Ubaidah dalam mengelola uang dan harta:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bertanggung Jawab

Meski menjabat sebagai gubernur Syam dan pemimpin pasukan Islam, Abu Ubaidah tetap hidup sangat sederhana. Ia menolak fasilitas mewah dari negara. Ketika Umar bin Khattab berkunjung ke rumahnya, ia hanya mendapati:

Sebuah tikar dari kulit

Sebuah kendi air

Sebilah pedang tergantung di dinding


Umar berkata sambil menangis:

“Semua ini sudah cukup bagimu, wahai Abu Ubaidah?”


Ia tetap mencukupi keluarganya, tetapi tidak berlebih dalam memberi. Ia ingin keluarganya merasakan keberkahan dari kesederhanaan dan tidak terlena oleh kekuasaan atau harta.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Tidak Banyak Berbisnis, Fokus pada Layanan Publik

Abu Ubaidah tidak dikenal sebagai pedagang atau pengusaha seperti sahabat lain (misalnya Abdurrahman bin Auf atau Utsman bin Affan). Fokus hidupnya adalah:

Jihad fi sabilillah

Mengatur wilayah Syam sebagai gubernur

Menjadi pemimpin militer yang bersih dan adil


Ia tidak menimbun kekayaan dari jabatannya. Meski berpeluang mengembangkan kekayaan dari berbagai penaklukan, ia menjauhi dunia.

Ketika Umar memintanya menyampaikan laporan keuangan, harta pribadinya nyaris tidak ada.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-Hati, Tidak Membebani

Abu Ubaidah dikenal tidak berutang, dan tidak berfoya-foya. Ia hidup dalam batas kebutuhan pokok.

Tidak ditemukan riwayat besar bahwa ia meninggal dalam keadaan punya utang. Sebaliknya, ia selalu berusaha mencukupi dirinya tanpa menyusahkan orang lain.

Jika ada utang untuk kebutuhan jihad atau rakyat, ia mencatatnya dengan disiplin dan bertanggung jawab. Tapi untuk pribadi, ia menghindari segala bentuk pemborosan.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Bersih, Amanah, dan Tegas

Abu Ubaidah adalah teladan utama dalam mengelola uang negara. Ketika Umar menunjuknya menjadi gubernur agung Syam, ia diberi wewenang penuh atas administrasi, militer, dan fiskal.

Namun Umar tetap mengawasi, karena takut Abu Ubaidah "terlalu jujur untuk menolak uang, tapi terlalu zuhud untuk mengatur kekayaan." Tapi Abu Ubaidah membuktikan, ia mampu menolak, dan mampu mengatur.

Ia memastikan:

Tidak satu dirham pun dari kas negara digunakan untuk kepentingan pribadi

Pajak tidak memberatkan rakyat

Harta rampasan perang disalurkan secara adil

Dana publik disimpan dan digunakan dengan penuh tanggung jawab


Ia menolak hadiah pribadi dari bawahannya, karena khawatir itu menjadi sumber fitnah.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Cukupkan dengan yang Ada

Sebagai gubernur, Abu Ubaidah menerima tunjangan dari negara. Tapi ia selalu meminta jumlah minimal, hanya sekadar cukup untuk makan dan nafkah keluarga.

Ketika Umar hendak menambah tunjangan karena beratnya tugas Abu Ubaidah, ia menolak dengan berkata:

“Aku khawatir kenyamanan dunia ini melemahkan tekadku dalam jihad.”

Ia lebih memilih hidup apa adanya, bahkan kadang menyerahkan kembali gaji yang tidak ia gunakan ke kas negara.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Sedikit Harta, Banyak Doa

Abu Ubaidah wafat pada tahun 18 H karena wabah Tha’un ‘Amwas di Syam. Saat wafat, ia tidak meninggalkan banyak harta. Sebagian riwayat menyebutkan:

Ia hanya meninggalkan seekor unta

Sebilah pedang

Sebuah pelana tua


Namun yang ia wariskan adalah nama yang harum, reputasi yang bersih, dan semangat kepemimpinan yang adil.

Ia berpesan kepada rakyat Syam:

“Aku tinggalkan kalian dalam keadaan aku tidak mengambil apa pun dari harta kalian. Aku telah melayani, bukan mengambil. Jika kalian temukan diriku menyimpang, maafkan aku dan doakan aku.”

Dan rakyat pun menangis saat melepasnya. Bukan karena kehilangan uang, tapi karena kehilangan pemimpin yang jujur, tulus, dan suci hatinya.



 Penutup: Amanah yang Menjadi Warisan

Abu Ubaidah adalah contoh sempurna bahwa jabatan dan harta tidak harus mengotori jiwa. Ia memimpin tanpa korupsi, memberi tanpa menuntut kembali.

Ia tidak kaya harta, tapi kaya kehormatan.
Ia tidak meninggalkan warisan dunia, tapi meninggalkan jejak surgawi.

Dunia Islam hari ini sangat butuh sosok seperti Abu Ubaidah: tegas, bersih, dan zuhud. Karena dari tangannya, negara bisa maju—dan dari ketulusannya, umat bisa hidup damai.

Sa‘id bin Zaid: Kaya Dalam Zuhud, Lurus Dalam Amanah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sa‘id bin Zaid ra. adalah sahabat Nabi ï·º yang te...

Sa‘id bin Zaid: Kaya Dalam Zuhud, Lurus Dalam Amanah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sa‘id bin Zaid ra. adalah sahabat Nabi ï·º yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga dalam satu majelis. Ia menantu Umar bin Khattab, dan berasal dari keluarga yang sejak awal sudah mengenal tauhid murni — ayahnya, Zaid bin Amr, adalah pencari kebenaran sebelum Islam datang.

Meski tidak sepopuler Umar atau Abdurrahman bin Auf, Sa‘id adalah pejuang yang setia dalam setiap medan perang dan pendukung Rasulullah ï·º sejak awal dakwah. Ia bukan hanya pejuang, tapi juga pengelola harta pribadi dan amanah publik dengan penuh ketakwaan.

Berikut enam sisi teladan Sa‘id bin Zaid dalam urusan keuangan dan harta:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Penuh Tanggung Jawab dan Kesederhanaan

Sa‘id hidup sebagai kepala keluarga yang penuh kasih sayang dan tanggung jawab. Ia menjaga keluarganya dari kemiskinan, namun tidak pernah menjerumuskan mereka dalam cinta dunia.

Istrinya, Fatimah binti Khattab (adik Umar bin Khattab), dikenal sebagai wanita kuat dan cerdas. Keduanya hidup sederhana, bahkan ketika harta dan kekuasaan Islam melimpah. Mereka membesarkan keluarga dalam semangat tauhid dan akhlak.

Sa‘id tidak membanjiri rumahnya dengan emas dan perak, tapi dengan rasa syukur dan iman.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Terlibat, Tapi Tidak Tamak

Sa‘id bukan pedagang besar seperti Abdurrahman bin Auf, namun ia tetap mandiri secara ekonomi. Ia memiliki beberapa kebun dan properti di Madinah dan sekitarnya, yang menghasilkan cukup untuk keluarganya.

Ia tidak menimbun kekayaan dan lebih memilih untuk menyumbangkan hartanya saat dibutuhkan umat. Dalam beberapa riwayat, Sa‘id dikenal suka mendermakan kebun atau sebagian hasil panennya untuk kaum miskin.

Ia menjadikan harta sebagai alat untuk ibadah, bukan tujuan hidup.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Waspada dan Tidak Memberatkan

Tidak ada riwayat yang menyebut Sa‘id bin Zaid meninggal dalam keadaan memiliki utang. Ini menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berhati-hati dalam bertransaksi, dan tidak hidup di atas kemampuan.

Ia tidak terbiasa berutang, dan jika berutang, ia berusaha melunasi dengan segera. Sebaliknya, ketika orang lain berutang kepadanya, ia ringan memaafkan jika benar-benar tidak sanggup membayar.

Ia takut utang menjadi penghalang amal dan kedamaian kuburnya.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Jujur dan Tidak Serakah

Sa‘id bin Zaid pernah menjabat sebagai penyelia tanah atau administrasi saat penaklukan wilayah Irak. Umar bin Khattab mempercayainya karena sifatnya yang lurus, tidak rakus, dan tidak silau dunia.

Ia mengelola wilayah dan distribusi tanah rampasan perang dengan adil dan jujur. Tidak ada laporan bahwa ia mengambil keuntungan pribadi dari posisi itu.

Ia sangat takut jika harta negara tercampur dengan hartanya. Karena itu, ia sering menolak hadiah, dan bersikap keras terhadap praktik korupsi.

Dalam diamnya, Sa‘id adalah pejuang transparansi.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Kehormatan Dunia

Sebagai salah satu sahabat senior dan panglima perang, Sa‘id sebenarnya berhak atas gaji dan bagian rampasan perang. Namun, ia tidak pernah tamak. Bahkan dalam banyak riwayat, ia lebih suka diberi bagian paling akhir, dan banyak dari bagiannya diinfakkan kembali.

Ia tidak pernah mengejar posisi atau kekuasaan. Dalam Dewan Syura untuk memilih khalifah setelah Umar, Sa‘id berkata:

“Aku tidak pantas menjadi khalifah, tapi aku tidak akan menyalahi urusan umat ini.”

Sikap ini menunjukkan bahwa ia lebih memilih ketenangan akhirat daripada gemerlap jabatan dan fasilitasnya.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Sedikit Harta, Banyak Amal

Ketika Sa‘id bin Zaid wafat pada tahun 50 H, ia tidak meninggalkan warisan yang besar. Namun ia mewariskan:

Beberapa kebun yang ia wakafkan untuk kaum miskin

Rumah-rumah sederhana yang dibagikan adil kepada keluarganya

Nama baik dan reputasi suci dalam sejarah Islam


Ia tidak memikirkan pembagian harta secara rumit, karena hartanya memang tidak banyak. Namun ia meninggalkan wasiat agar:

Utang (jika ada) dilunasi dahulu

Wakaf tidak diubah fungsinya

Anak-anaknya tetap hidup sederhana dan bertakwa


Ia tidak meninggalkan kemewahan, tapi meninggalkan keteladanan.




 Penutup: Diamnya Emas, Zuhudnya Mulia

Sa‘id bin Zaid bukan sosok yang banyak bicara, bukan pula yang berlomba dalam kekayaan. Tapi justru dalam kesunyiannya, ia menjaga akhlak, harta, dan umat dari keculasan.

Ia menjaga diri dari kerakusan,
Menjaga keluarganya dari dunia,
Menjaga hartanya dari korupsi,
Dan menjaga warisannya dari pertikaian.

Ia memang tidak terlihat di panggung sejarah ekonomi, tapi ia adalah teladan abadi dalam kejujuran dan tanggung jawab terhadap harta.

Sa‘d bin Abi Waqqash: Panglima Dermawan, Penjaga Amanah Umat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sa‘d bin Abi Waqqash ra. adalah pemanah ...

Sa‘d bin Abi Waqqash: Panglima Dermawan, Penjaga Amanah Umat

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sa‘d bin Abi Waqqash ra. adalah pemanah jitu, panglima besar, dan sahabat yang doanya tak pernah ditolak. Ia dikenal tegas dalam jihad, lembut dalam keluarga, dan cermat dalam mengelola harta.

Kekayaannya bertambah seiring kejayaan Islam, tapi hatinya tak pernah terikat dunia. Ia tetap zuhud, dermawan, dan penuh tanggung jawab. Inilah enam kisah utama manajemen harta ala Sa‘d:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Seimbang dan Penuh Kasih

Sa‘d bin Abi Waqqash membesarkan keluarga dalam suasana tanggung jawab dan kecukupan. Ia memastikan kebutuhan istri dan anak-anaknya terpenuhi dari sumber halal dan bersih. Tapi ia juga menanamkan sikap tidak bergantung pada dunia.

Putranya, Umar bin Sa‘d, dididik dalam kedisiplinan, ilmu, dan akhlak, meskipun kelak sejarah mencatat jalan hidupnya berbalik arah. Sa‘d tetap bertanggung jawab dan tidak menurunkan gaya hidup mewah meski sebagai pahlawan dan gubernur.

“Kekayaan bukan untuk memanjakan keluarga, tapi untuk menjaga kehormatan dan memberi keteladanan.”



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Mandiri dan Amanah

Sebelum Islam, Sa‘d sudah bekerja sebagai pengrajin busur dan pedagang kecil. Setelah Islam menyebar dan Sa‘d ikut dalam penaklukan Persia, ia mendapat bagian ghanimah (harta rampasan perang) yang besar.

Namun ia tetap berusaha dan tidak hanya bergantung pada rampasan atau gaji. Ia memiliki ladang, kebun, dan ternak. Dalam riwayat disebutkan, tanahnya di luar Madinah menghasilkan panen yang melimpah, dan ia menjadikan sebagian besar hasilnya untuk:

Nafkah keluarga

Membantu kerabat miskin

Wakaf dan infak jihad


“Harta adalah karunia, bukan tujuan. Maka harus dikelola, bukan disembah.”



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-Hati dan Penuh Tanggung Jawab

Sa‘d dikenal sangat berhati-hati dengan utang. Ia takut mati membawa beban dunia. Tidak ada riwayat bahwa ia meninggal dalam keadaan terlilit utang.

Jika ada orang berutang kepadanya, dan benar-benar tidak sanggup membayar, Sa‘d sering memaafkan dan mengikhlaskan. Ia takut kezaliman karena menagih secara kasar.

Rasulullah ï·º bersabda bahwa orang yang memudahkan orang berutang, Allah akan memudahkannya. Dan Sa‘d mengamalkannya.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Tegas dan Amanah

Sa‘d bin Abi Waqqash pernah menjadi gubernur Kufah di era Umar bin Khattab. Di masa itu, ia mengelola keuangan negara dan pajak wilayah Irak yang sangat kaya.

Namun, ia dituduh oleh sebagian rakyat Kufah berlaku tidak adil. Ketika Umar menyelidiki, tidak ditemukan penyimpangan. Tapi Sa‘d tetap dilepas dari jabatannya karena Umar ingin menjaga kepercayaan publik.

Sa‘d menerima keputusan itu tanpa dendam. Ia berkata:

“Demi Allah, aku tidak menyelewengkan sebiji pun dari harta umat.”

Itulah integritasnya.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Tidak Serakah

Sebagai panglima Perang Qadisiyah – pertempuran besar yang menaklukkan Persia – Sa‘d mendapatkan bagian besar dari harta rampasan. Namun ia tidak mengambil gaji tambahan atau kompensasi berlebihan dari negara.

Gajinya sebagai gubernur digunakan secukupnya, dan sisanya dikembalikan ke baitul mal atau disedekahkan. Ia ingin menunjukkan bahwa jabatan bukan jalan memperkaya diri.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Membagi dengan Adil dan Bijak

Saat Sa‘d menjelang wafat pada tahun 55 H di daerah ‘Aqiq (dekat Madinah), ia dikenal sebagai salah satu sahabat terkaya yang masih hidup. Tapi sebelum wafat, ia mewakafkan sebagian besar kekayaannya.

Dalam wasiatnya:

Ia membebaskan hamba sahaya

Menetapkan wakaf untuk madrasah dan masjid

Memastikan anak-anaknya diberi sesuai syariat, tanpa memanjakan

Ia juga meminta maaf jika pernah mengambil harta tanpa hak, meski tidak ada yang menuntut.

 “Aku tidak ingin menghadap Rabb-ku dengan satu dinar pun yang bukan milikku.”



Penutup: Panglima Agung, Hamba yang Rendah Hati

Sa‘d bin Abi Waqqash adalah sahabat yang kaya tanpa cinta dunia, berkuasa tanpa tamak, dan terkenal tanpa mencari pujian.

Ia menjadikan dunia sebagai titipan,
Jabatan sebagai amanah,
Harta sebagai ladang amal,
Dan warisan sebagai cahaya di kubur.

Negara Kolonial yang Makan Bangkai Dirinya Sendiri Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sebuah negara bisa bertahan dari serangan luar, ta...

Negara Kolonial yang Makan Bangkai Dirinya Sendiri

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sebuah negara bisa bertahan dari serangan luar, tapi tidak akan selamat jika dirusak dari dalam. Begitulah nasib penjajah Israel hari ini: tampak kuat dari luar, tapi rapuh, keropos, dan berantakan di dalam. Negara ini ibarat tubuh besar yang digerogoti penyakit autoimun—setiap elemen saling memakan, saling mencurigai, dan siap meninggalkan kapal ketika mulai tenggelam.

Empat kelompok utama penyusun masyarakatnya justru menjadi penyebab utama keretakan itu. Masing-masing hidup dalam dunianya sendiri, dengan kepentingan sendiri, dan loyalitas yang—nyaris semuanya—bersyarat.



1. Yahudi Sekuler: Si Pembayar Pajak yang Frustrasi

Mereka adalah tulang punggung negara: membayar pajak, menyuplai tentara, dan membela sistem. Tapi kini, mereka mulai ragu:

Apakah ini negara milik mereka, atau milik kaum fanatik agama yang tak bekerja tapi berkuasa?



Ancaman demografis dari Haredim, krisis konstitusi, dan isolasi global membuat mereka ingin punya "jalan keluar"—dan banyak yang sudah menyiapkan paspor kedua.


---

2. Haredim: Menolak Negara, Tapi Hidup dari Negara

Haredim adalah paradoks terbesar Israel.

> Mereka menolak Zionisme, tapi hidup dari hasilnya.
Tak ikut militer, menolak modernitas, tapi menikmati anggaran negara, pendidikan gratis, dan infrastruktur. Mereka menentang demokrasi, tapi menentukan hasil pemilu lewat suara blok religius.



Sikap mereka jelas:

> Israel haram didirikan sebelum Mesias datang—tapi selama belum datang, kami terima subsidi dulu.




---

3. Arab Palestina: Warga Negara Kelas Dua yang Tak Pernah Dianggap

Dengan populasi 20%, warga Arab Israel secara hukum diakui, tapi secara praktik dimarginalkan. Tak punya pengaruh, tak dipercaya, dan selalu jadi sasaran kebijakan diskriminatif.

> Mereka adalah pemilik tanah yang dijadikan tamu dalam rumah sendiri.




---

4. Pemukim Radikal: Yahudi Fanatik yang Bahkan Menyerang Tentara Israel

Ini kelompok paling gila dalam struktur sosial Israel: Zionis religius radikal yang datang dari Amerika dan Eropa, tinggal di tanah rampasan, dan sering melawan tentara Israel sendiri.

> Mereka percaya tanah ini milik Tuhan, bukan negara. Jika hukum Israel menghalangi, hukum Tuhan-lah yang berlaku.



Mereka bukan sekutu IDF, mereka adalah virus tak terkendali yang siap menyeret Israel ke dalam perang saudara.


---

Paspor Ganda: Simbol Kesetiaan Palsu

Ketika Iran meluncurkan rudal, Israel menutup bandara. Tapi sebagian warganya tetap kabur lewat laut. Itulah Israel: negara dengan warga cadangan dan kesetiaan bersyarat. Paspor asing menjadi senjata terakhir:

> Jika negeri ini ambruk, kami sudah punya tempat pelarian.




---

Kesimpulan: Negara Tanpa Fondasi, Hidup dari Ketakutan

Israel tidak dibangun di atas kebersamaan, tapi di atas ketakutan bersama. Takut terhadap Arab. Takut terhadap Iran. Takut terhadap kehilangan eksistensi.

Tapi ketakutan bukan perekat sejati. Dan saat ketakutan itu berkurang, mereka akan saling menerkam.

> Inilah negara kolonial yang akan hancur bukan karena roket dari luar, tapi karena bom waktu dari dalam.

Perang Saudara Sunyi di Negeri Penjajah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel sedang berperang—bukan hanya dengan Gaza, bukan cuma d...

Perang Saudara Sunyi di Negeri Penjajah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Israel sedang berperang—bukan hanya dengan Gaza, bukan cuma dengan Hamas, bukan hanya dengan Iran. Tapi dengan dirinya sendiri. Bukan perang dengan senjata, tapi dengan kebencian kelas, konflik ideologi, dan penghianatan diam-diam.

Negara yang dibanggakan sebagai “tanah yang dijanjikan” itu kini jadi ladang pertikaian internal yang makin panas. Retakan di tubuhnya bukan hal baru—namun kini retakan itu menganga, siap menelan semuanya.



1. Yahudi Sekuler vs Haredim: Para Pembayar Pajak Lawan Pemakan Uang Negara

Yang satu kerja, bayar pajak, ikut militer. Yang satu belajar kitab, teriak di jalan, dan hidup dari subsidi.

Beginilah wajah konflik abadi antara Yahudi sekuler dan Haredim. Setiap kali isu wajib militer naik, Haredim turun ke jalan: bakar ban, lempari polisi, dan teriak “Zionisme haram!” Tapi ketika giliran tunjangan ditarik, mereka teriak lebih keras.

Seberapa sering? Hampir setiap tahun.

Akar masalah: Sekuler ingin negara modern, logis, dan adil. Haredim ingin negara tunduk pada kitab dan rabbi. Yang satu pegang komputer, yang lain pegang kitab suci.

Dampaknya: Kelas menengah sekuler frustrasi. Mereka mulai pindah ke luar negeri. Negara kehilangan loyalitas tulus dari warganya yang paling produktif.



2. Yahudi Sekuler vs Pemukim Ilegal: Zionis Modern Lawan Zionis Gila

Sekuler ingin hidup nyaman, pemukim ingin “Tanah Suci” versi mereka, walau harus membantai, melanggar hukum, bahkan menyerang tentara Israel sendiri.

Pemukim ilegal adalah wajah Zionisme paling brutal—datang dari AS dan Eropa, bawa senjata, rampas tanah, dan kadang menginjak hukum Israel itu sendiri.

Contoh konflik: Saat pemerintah (yang ditekan internasional) coba membongkar pos ilegal, pemukim melawan IDF. Bahkan menyerang tentara sendiri.

Akar masalah: Sekuler ingin stabilitas dan citra global. Pemukim ingin tanah suci, apapun risikonya.

Dampaknya: Citra Israel rusak di mata dunia. Hukum menjadi lelucon. Tentara dilecehkan oleh rakyatnya sendiri.



3. Yahudi Sekuler vs IDF: Tentara yang Tak Lagi Dihormati

Bukan Hamas yang bikin tentara Israel mundur. Tapi warganya sendiri—yang kini menolak dinas militer.

Saat perang Gaza pecah, banyak warga sekuler menolak ikut wajib militer. Ribuan tentara cadangan memboikot panggilan dinas. Pilot elite mogok terbang.

Seberapa sering? Sejak 2023, makin sering dan terbuka.

Akar masalah: Rasa keadilan hancur. Haredim bebas dari dinas. Tentara dipaksa jaga pemukim gila. Sekuler muak.

Dampaknya: IDF kehilangan wajahnya. Sekuler kehilangan kebanggaannya. Negara kehilangan alat tempurnya yang paling loyal.



4. Yahudi Sekuler vs Penguasa: Rezim Ultra-Ortodoks yang Membungkam Demokrasi

Ini bukan demokrasi, ini teokrasi diam-diam yang dikendalikan rabbi dan partai fanatik.

Pemerintahan Netanyahu, berkoalisi dengan partai ultra-Ortodoks, mulai membungkam Mahkamah Agung, mengendalikan parlemen, dan membentengi kekuasaan dengan ayat-ayat rabbi.

Contoh konflik: Gelombang protes 2023—jutaan turun ke jalan. Tentara, profesor, dokter, pelajar. Semua menolak “kudeta hukum.”

Akar masalah: Sekuler ingin demokrasi modern. Rezim ingin negara berdasarkan kitab Talmud dan suara blok religius.

Dampaknya: Israel jadi bahan tertawaan di dunia barat. Investor hengkang. Otak-otak terbaik kabur. Negara terancam jadi negara agama ekstrem.



5. Protes Perang Gaza: Warga Melawan Negara Pembunuh

Ketika rudal dijatuhkan atas nama negara, tapi rakyat sendiri menjerit “Hentikan pembantaian!”

Warga sipil, keluarga sandera, aktivis HAM, bahkan pensiunan tentara ikut turun ke jalan. Mereka tidak tahan melihat Gaza dibakar, anak-anak mati, dan dunia menjauh dari Israel.

Contoh protes: Setiap minggu. Di Tel Aviv, Haifa, Yerusalem. Bendera dibakar, seruan gencatan senjata, bahkan ajakan jatuhkan pemerintahan.

Akar masalah: Kehilangan nilai moral. Kehilangan arah. Perang tiada ujung. Sandera tak kembali, Gaza hancur, dunia muak.

Dampaknya: Citra Israel jatuh. Legitimasi moral ambruk. Dukungan publik menurun. Pemilu berikutnya bisa menjadi kiamat politik bagi penguasa.



Israel Tidak Dihancurkan oleh Hamas, Tapi oleh Dirinya Sendiri

Semua ini bukan dilema. Ini bom waktu. Masyarakat Israel bukan satu tubuh, tapi empat arah yang saling tarik dan saling sikat. Mereka bukan disatukan oleh visi—tapi oleh ketakutan. Dan ketakutan tidak bisa jadi fondasi negara.

Israel bukan sedang mempertahankan eksistensinya—tapi sedang menggali lubang kuburnya sendiri. Dengan tangan sendiri.

Konflik Internal dalam Masyarakat Israel: Retakan yang Kian Terbuka Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel adalah negara yang dibentu...

Konflik Internal dalam Masyarakat Israel: Retakan yang Kian Terbuka

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Israel adalah negara yang dibentuk oleh imigran Yahudi dari berbagai penjuru dunia—beragam dalam asal-usul, budaya, bahasa, dan terutama ideologi. Meskipun dari luar tampak bersatu menghadapi musuh bersama, realitas sosial internalnya penuh dengan konflik dan friksi antar kelompok.

Di tengah situasi politik, militer, dan sosial yang makin tegang, konflik internal antarkelompok Yahudi dan warga negara Israel sendiri justru memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi masyarakat mereka. Berikut lima jenis konflik utama yang memperlihatkan keretakan tersebut.


---

1. Konflik Yahudi Sekuler vs Haredim (Yahudi Ultra-Ortodoks)

Contoh Konflik:

Penolakan wajib militer oleh komunitas Haredim.

Demonstrasi besar menentang kurikulum sekolah nasional.

Blokade jalan oleh kelompok Haredi untuk menolak perintah pengadilan.


Seberapa Sering:

Rutin terjadi, terutama saat kebijakan militer atau pendidikan hendak diberlakukan secara menyeluruh.


Akar Masalah:

Haredim menolak Zionisme sekuler dan negara Israel dalam bentuk sekarang.

Mereka tidak bekerja secara formal, tidak ikut wajib militer, namun mendapatkan tunjangan besar dari negara.

Yahudi sekuler merasa tertindas secara ekonomi dan politik oleh dominasi suara religius di parlemen.


Dampaknya:

Meningkatnya polarisasi politik dan sosial.

Kemarahan masyarakat sekuler yang merasa dieksploitasi.

Ancaman disintegrasi sosial jangka panjang.



---

2. Konflik Yahudi Sekuler vs Pemukim Ilegal Yahudi

Contoh Konflik:

Bentrokan antara tentara IDF (yang sebagian besar dari kalangan sekuler) dan pemukim radikal saat pembongkaran pos ilegal (misalnya Amona 2017).

Pemukim menyerang warga Palestina, menyebabkan tekanan diplomatik internasional terhadap Israel.


Seberapa Sering:

Meningkat terutama di wilayah Tepi Barat dan saat ada desakan internasional untuk menertibkan permukiman ilegal.


Akar Masalah:

Pemukim sering mengabaikan hukum Israel sendiri dan lebih setia pada ideologi religius nasionalis.

Sekuler menilai tindakan mereka merusak citra internasional Israel dan memperburuk konflik.


Dampaknya:

Memburuknya citra Israel secara global.

Membelah masyarakat Yahudi antara kelompok legalis dan ekstremis religius.

Mengancam supremasi hukum negara itu sendiri.



---

3. Konflik Yahudi Sekuler vs IDF (Tentara Israel)

Contoh Konflik:

Aksi mogok ribuan tentara cadangan saat protes terhadap reformasi yudisial tahun 2023.

Penolakan beberapa warga untuk menjalani dinas militer karena kecewa terhadap arah politik negara.


Seberapa Sering:

Terjadi dalam situasi krisis politik, tetapi makin sering sejak 2023.


Akar Masalah:

Ketidakadilan sistem: Hanya kelompok sekuler yang diwajibkan militer, sementara Haredim dibebaskan.

Kekecewaan terhadap militer yang dianggap terlalu digunakan untuk menekan warga Palestina dan melayani kelompok pemukim ilegal.


Dampaknya:

Merosotnya moral militer.

Ancaman terhadap kesatuan IDF.

Kemungkinan munculnya gerakan pembangkangan sipil militer lebih luas.



---

4. Konflik Yahudi Sekuler vs Penguasa (Pemerintah/Koalisi Ultra-Ortodoks)

Contoh Konflik:

Demonstrasi berjilid-jilid menolak reformasi yudisial yang dianggap membungkam Mahkamah Agung.

Gerakan “Selamatkan Demokrasi Israel” yang didukung oleh jutaan warga, termasuk akademisi, perwira militer, hingga pengusaha teknologi.


Seberapa Sering:

Sangat sering dan intens sejak pemerintahan sayap kanan koalisi Netanyahu mendominasi sejak 2022.


Akar Masalah:

Kekecewaan warga sekuler terhadap pengaruh partai ultra-Ortodoks yang mengendalikan parlemen.

Ketakutan terhadap hilangnya sistem checks and balances di Israel.


Dampaknya:

Fragmentasi politik tajam.

Menurunnya kepercayaan terhadap sistem demokrasi Israel.

Gelombang emigrasi warga sekuler ke luar negeri.



---

5. Protes terhadap Perang di Gaza

Contoh Protes:

Demonstrasi menuntut gencatan senjata, terutama setelah meningkatnya korban sipil di Gaza.

Protes dari keluarga sandera yang meminta negosiasi, bukan pemboman terus-menerus.

Aksi diam dan pembakaran bendera sebagai simbol ketidaksetujuan terhadap cara perang dijalankan.


Seberapa Sering:

Semakin meningkat seiring lamanya perang Gaza sejak Oktober 2023 hingga 2025.

Protes muncul setiap minggu, terutama di Tel Aviv dan Yerusalem.


Akar Masalah:

Kematian warga sipil dan tentara dalam jumlah besar.

Ketidakjelasan tujuan akhir perang.

Rasa bersalah sebagian warga atas penderitaan rakyat Palestina.


Dampaknya:

Membuka jurang antara kalangan militeris dan aktivis perdamaian.

Munculnya tekanan domestik untuk mengakhiri operasi militer.

Menurunnya legitimasi moral Israel di mata warganya sendiri dan dunia internasional.



---

Penutup: Negara yang Satu Tubuh Tapi Banyak Jiwa

Israel bukanlah entitas homogen, melainkan tubuh yang dipenuhi konflik antara organ-organ yang saling tarik-menarik. Yahudi sekuler yang dulu menjadi penggerak utama negara kini merasa terpinggirkan, bahkan diperalat. Di sisi lain, kelompok religius dan pemukim ekstremis justru mendominasi ruang kekuasaan.

> Ketika masyarakat negara penjajah saling curiga, saling membenci, dan tidak punya ikatan ideologis bersama, kehancuran bukan tinggal menunggu musuh datang—tapi tinggal menunggu waktu dari dalam.

Runtuh dengan Sendirinya: Analisis Struktur Masyarakat Penjajah Israel yang Rapuh Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kekuatan sebuah neg...

Runtuh dengan Sendirinya: Analisis Struktur Masyarakat Penjajah Israel yang Rapuh

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Kekuatan sebuah negara dibangun dari kekokohan masyarakatnya. Sebaliknya, kehancuran muncul dari dalam: dari retakan sosial, konflik internal, dan rapuhnya ikatan kolektif. Al-Qur’an menunjukkan bagaimana Bani Israil runtuh bukan karena musuh luar semata, melainkan karena kerusakan internal mereka sendiri. Hukum ini tidak berubah; ia berlaku lintas zaman.

Bagaimana dengan Israel hari ini—negara kolonial yang berdiri di atas tanah pendudukan Palestina? Mari kita telaah struktur sosial masyarakatnya. Apakah mereka kokoh di dalam? Atau justru menyimpan bibit keruntuhan?



Empat Kelompok Utama dalam Masyarakat Israel

Struktur sosial Israel terdiri dari empat kelompok besar yang hidup berdampingan, namun tidak sepenuhnya bersatu. Hubungan masing-masing terhadap negara sangat beragam, bahkan kontradiktif.



1. Yahudi Sekuler dan Nasionalis (40–45%)

Kelompok ini, mayoritas berasal dari kalangan Ashkenazi (Eropa Timur), adalah pendiri dan pendukung utama proyek Zionisme sekuler. Mereka loyal terhadap negara, bangga terhadap militer (IDF), dan rela membayar pajak serta menyumbangkan anak-anaknya ke wajib militer.

Namun belakangan, mereka mulai pesimis terhadap masa depan Israel karena beberapa faktor:

Ancaman demografis dari komunitas Haredim yang berkembang cepat tapi tidak berkontribusi secara militer dan ekonomi.

Krisis legitimasi politik, terutama menyangkut Mahkamah Agung dan konflik eksekutif-yudikatif.

Perpecahan internal, polarisasi ideologis, dan isolasi diplomatik di mata dunia.



2. Yahudi Religius Ultra-Ortodoks (Haredim) (10–15%)

Kelompok ini memiliki ikatan ideologis yang lemah terhadap negara. Mereka tidak percaya pada Zionisme sekuler, dan bahkan sebagian besar menolak keberadaan negara Israel sebelum datangnya "Mesias".

Ciri khas mereka:

Tidak ikut wajib militer.

Hidup dari subsidi negara.

Sering melakukan demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.


Secara ideologis mereka menolak, tapi secara praktis mereka bergantung pada negara. Inilah yang membuat posisi mereka ambivalen: menolak dengan mulut, menerima dengan tangan.



3. Warga Arab Palestina (±20%)

Secara hukum mereka adalah warga negara Israel, namun secara nyata mereka mengalami diskriminasi sistemik:

Terpinggirkan dalam sektor pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan tanah.

Representasi politik terbatas dan sering dicurigai tidak loyal.


Meski demikian, sebagian dari mereka tetap berjuang memperjuangkan hak-hak secara legal dan sipil, serta mencoba hidup berdampingan secara damai.



4. Pemukim Yahudi Radikal (6–7%)

Banyak dari mereka merupakan imigran dari AS dan Eropa yang tinggal di wilayah pendudukan Tepi Barat. Mereka sangat fanatik terhadap ideologi Zionisme religius dan lebih loyal kepada tafsir agama daripada kepada hukum negara Israel.

Dalam praktiknya:

Sering bertindak brutal terhadap warga Palestina.

Kerap menolak perintah IDF, bahkan menyerang tentara Israel jika dianggap menghambat misi mereka.

Menjadi sumber ketegangan antara hukum negara dan gerakan kolonialisme religius.



Antara Retak Sosial dan Kesetiaan yang Bersyarat

Di antara keempat kelompok tersebut, tidak ada ikatan ideologis yang benar-benar menyatukan. Mereka datang dari berbagai latar belakang budaya, tradisi, bahkan bahasa yang berbeda. Ikatan kebangsaan bukan dibentuk dari cinta tanah air, melainkan dari satu faktor tunggal: ketakutan terhadap ancaman eksternal.

Konflik antara kelompok pun makin terang:

Yahudi Sekuler merasa dibebani oleh Haredim yang tidak bekerja namun menikmati subsidi dan bebas dari wajib militer.

Haredim merasa berhak atas kekuasaan politik dan anggaran negara karena pertumbuhan demografi dan dominasi di parlemen.

Warga Arab terus dipinggirkan dan diawasi dengan penuh kecurigaan.

Pemukim ilegal bertindak seolah-olah mereka memiliki hukum sendiri, sering berbenturan dengan militer Israel.



Fenomena Kewarganegaraan Ganda: Simbol Loyalitas Sementara

Fakta penting yang menunjukkan kerapuhan internal Israel adalah fenomena kewarganegaraan ganda, terutama di kalangan Yahudi Sekuler dan pemukim ilegal:

Banyak dari mereka tetap memegang paspor asing (AS, Kanada, Prancis, dll.) sebagai “asuransi geopolitik”.

Jika Israel goyah akibat perang, kekacauan politik, atau isolasi global, mereka sudah menyiapkan jalan keluar.

Hal ini terbukti saat serangan rudal dari Iran membuat bandara Israel ditutup, namun banyak warga tetap melarikan diri melalui laut, meski telah dilarang pemerintah.

Dengan kata lain, kesetiaan terhadap negara bersifat kondisional. Jika negara aman, mereka tinggal. Jika terancam, mereka pergi.



Negara yang Tergantung pada Ketakutan

Selama ini, yang menyatukan mereka hanyalah rasa takut. Ketika tekanan eksternal menurun, retakan internal makin terlihat. Sejak gelombang perlawanan Al-Aqsha, ketegangan antar kelompok meningkat drastis. Semakin banyak yang meninggalkan Israel, baik secara fisik maupun ideologis.

Masyarakat yang berdiri di atas dominasi, ketimpangan, dan loyalitas semu—hanya menunggu waktu untuk runtuh dari dalam.

Penjajah Israel Menciptakan Monster: Pemukim Ilegal Yahudi Kini Berani Menyerang Tentara Sendiri Oleh: Nasrulloh Baksolahar Penj...


Penjajah Israel Menciptakan Monster: Pemukim Ilegal Yahudi Kini Berani Menyerang Tentara Sendiri

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Penjajahan Bukan Lagi oleh Tentara, Tapi oleh Warga Bersenjata

Israel tidak lagi mengandalkan tentara resmi untuk menjajah Palestina. Mereka menggunakan warga sipil bersenjata—pemukim Yahudi ilegal—yang ditempatkan secara sistematis di tanah Palestina. Mereka bukan sekadar pendatang. Mereka adalah pasukan penjajah yang berpakaian sipil, tapi dilatih dan dipersenjatai negara.

Dengan kedok “kembali ke tanah nenek moyang”, para pemukim ini menyerang, mengintimidasi, membakar rumah dan ladang rakyat Palestina, bahkan membunuh anak-anak, lalu berlindung di balik IDF.



Negara Israel Mendistribusikan Senjata ke Pemukim Fanatik

Di bawah Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, Israel mendistribusikan ribuan senjata otomatis ke pemukim di Tepi Barat. Mereka dilatih secara resmi, dan disebut sebagai “Pasukan Sipil”.

Ini bukan pertahanan diri. Ini adalah proyek kolonial bersenjata yang dilegalkan oleh undang-undang.

Mereka punya misi tunggal: mengosongkan tanah Palestina dengan paksa dan teror, satu desa demi satu desa.



IDF: Tentara yang Diam, Bahkan Berpihak

Ketika pemukim menyerang warga Palestina, IDF justru melindungi mereka. Warga Palestina yang membela diri sering ditangkap, dipukuli, bahkan dibunuh. Para pemukim nyaris tak tersentuh hukum.

Israel menciptakan rezim dua hukum: satu untuk Yahudi penjajah, satu untuk rakyat Palestina yang dijajah.



Pemukim Yahudi Kini Menyerang IDF

Ironis dan brutal: ketika IDF mencoba membongkar pos pemukiman liar—yang ilegal menurut hukum Israel sendiri—para pemukim melawan. Bahkan menembak tentara Israel!

Insiden di Homesh dan Evyatar adalah buktinya:

1. Tentara dilempar batu dan molotov.
2. Kendaraan militer dirusak.
3. Prajurit IDF ditembak oleh pemukim fanatik.


Israel kini dipukul oleh monster yang mereka ciptakan sendiri: fanatisme bersenjata atas nama Zionisme.



Pejabat Israel Malah Membela Monster Ini

Alih-alih mengecam, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich justru membela pemukim. Ia menyalahkan tentara. Ia menyebut pemukim sebagai “patriot”, dan mendorong penguatan pemukiman ilegal lewat anggaran negara.

Ini bukan lagi ekstremisme individu. Ini ekstremisme yang dilembagakan.



Penjajahan yang Membusuk dari Dalam

Pemukim Yahudi ilegal kini bukan hanya mengusir warga Palestina, mereka juga mengancam negara Israel sendiri. Mereka melawan tentara, menolak hukum, dan membentuk negara dalam negara.

Israel tidak sedang memperkuat wilayahnya. Ia sedang menggali kuburnya sendiri.

Fanatisme tak mengenal loyalitas. Mereka hanya tunduk pada ideologi, bukan hukum. Dan kini, proyek penjajahan itu mulai memakan tuannya sendiri.

Evolusi Pemukim Ilegal Yahudi: Dari Alat Penjajahan hingga Memusuhi IDF Oleh: Nasrulloh Baksolahar Rakyat Palestina bukan hanya ...

Evolusi Pemukim Ilegal Yahudi: Dari Alat Penjajahan hingga Memusuhi IDF

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Rakyat Palestina bukan hanya menghadapi kekerasan dari militer Israel (IDF), tetapi juga dari pemukim ilegal Yahudi yang dikirim secara sistematis untuk merampas tanah, membakar rumah, dan mengusir warga dari kampung halaman mereka. Mereka bukan sekadar warga biasa—tetapi bagian dari strategi penjajahan terstruktur yang kini mulai berbalik arah, bahkan menyerang militer Israel sendiri. Bagaimana proses ini terjadi?



1. Penjajahan Gaya Baru: Pemukim sebagai Alat Pengusiran

Penjajahan modern tidak selalu hadir lewat tank dan senapan serbu. Di Palestina, wajah penjajahan justru tampil dengan pakaian sipil: pemukim Yahudi ilegal yang ditempatkan oleh pemerintah Israel di wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Dengan dalih klaim historis dan agama, mereka hadir bukan untuk hidup berdampingan, tetapi untuk mengusir warga Palestina, menghancurkan ladang zaitun, membakar rumah-rumah, dan menciptakan ketakutan. Aksi-aksi mereka sering dilakukan di bawah perlindungan langsung atau diam-diam dari tentara Israel.

"Penjajahan kini berpakaian sipil, memegang senjata, dan mengaku warga biasa."



2. Pemukim Yahudi Dipersenjatai secara Resmi oleh Negara

Sejak 2023, Israel mempercepat distribusi senjata ke kalangan sipil Yahudi, terutama pemukim ilegal. Menteri Keamanan Nasional sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, bahkan membentuk “Pasukan Sipil” dari kalangan pemukim, lengkap dengan pelatihan militer oleh IDF.

Fakta-fakta mencengangkan:

1. Ribuan senapan otomatis dibagikan ke pemukim.

2. Pelatihan militer diberikan secara resmi.

3. Pos-pos pemukim berubah menjadi barak-barak bersenjata.


Senjata-senjata ini bukan untuk membela diri dari kriminalitas, melainkan untuk mengintimidasi dan mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka sendiri.

“Pemukim kini bersenjata, dilegalkan negara, dan didiamkan dunia internasional.”



3. IDF: Pelindung Hukum yang Diam atau Berpihak

Secara resmi, IDF (Israel Defense Forces) bertugas menjaga ketertiban hukum. Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Dalam banyak serangan pemukim terhadap desa-desa Palestina, IDF tidak mencegah, bahkan sering melindungi pelaku dan menahan warga Palestina yang membela diri.

Realitas di lapangan:

1. Serangan pemukim hanya berujung penahanan singkat, tanpa dakwaan.

2. Korban Palestina justru dipenjara atau dibunuh.

3. Perintah evakuasi pemukiman liar sering tidak dijalankan karena tekanan politik.


IDF bukan lagi pelindung hukum, tetapi penonton pasif atau bahkan pelaku kedua dalam penjajahan.



4. Bentrokan Pemukim dan IDF: Ketika Monster Menyerang Penciptanya

Ironisnya, pemukim bersenjata kini juga menyerang IDF ketika kepentingannya terganggu. Ketika tentara Israel mencoba menertibkan atau membongkar pos pemukiman ilegal, bentrokan pun pecah.

Insiden serius:

1. Pemukim menyerang IDF saat pembongkaran pos liar.

2. Mereka melempar batu, molotov, bahkan menembaki tentara yang hendak mengamankan lokasi.


Israel kini menghadapi konsekuensi dari ideologi ekstrem yang mereka pelihara sendiri—pemukim yang merasa lebih berhak dari negara, dan kini menolak dikendalikan oleh hukum manapun.



5. Menteri Keuangan Membela Pemukim dan Menyalahkan IDF

Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan Israel dan tokoh penting dalam ekspansi pemukiman, secara terbuka membela pemukim bersenjata, bahkan saat mereka bentrok dengan IDF.

Pernyataan kontroversialnya:

“IDF seharusnya mendukung, bukan melawan para patriot Yahudi.”

Menuduh tentara “terlalu lembek” pada warga Palestina dan “terlalu keras” pada pemukim.

Menolak pembongkaran pos liar meski dinyatakan ilegal secara hukum Israel sendiri.


Smotrich bahkan mendorong penambahan anggaran negara untuk memperkuat pemukiman Yahudi, menjadikannya proyek penjajahan yang disokong penuh oleh dana publik dan aparat resmi.



Penjajahan yang Kini Berbalik Menghantam Dirinya Sendiri

Kita sedang menyaksikan penjajahan yang tidak hanya brutal terhadap yang dijajah, tetapi juga berbalik menghantam institusi yang menciptakannya. Pemukim Yahudi bukan lagi hanya alat, melainkan aktor utama dalam konflik:

1. Mereka menyerang warga Palestina dengan impunitas.

2. Mereka dipersenjatai dan dilegalkan oleh negara.

3.Mereka melawan tentara sendiri demi ideologi.

4. Dan mereka dibela oleh elit politik, meski telah melanggar hukum.


Para pemukim Yahudi telah berevolusi dan akan terus berevolusi. Seperti kaum Bani Israil yang dibebaskan oleh Nabi Musa, lalu mendurhakai Nabi Musa sendiri. Kelak, mereka akan membangkang kepada penguasa penjajah Israel sendiri. Seperti penolakan kaum Haredim yang menolak untuk wajib militer.

Hasan bin Ali dalam Mengelola Harta dan Amanah Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT 1. Mengelola Keuangan Keluarga:...

Hasan bin Ali dalam Mengelola Harta dan Amanah

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT


1. Mengelola Keuangan Keluarga: Qana’ah dan Kedermawanan

Hasan bin Ali tumbuh dalam rumah yang penuh kesucian dan kesederhanaan. Ia mewarisi sifat dermawan dari kakeknya (Rasulullah ï·º) dan ayahnya (Ali bin Abi Thalib).

Diriwayatkan bahwa:

Hasan bin Ali pernah membagikan seluruh hartanya kepada fakir miskin sebanyak dua kali dalam hidupnya, dan pernah membagi hartanya menjadi dua, lalu memberikan separuhnya sebanyak tiga kali.

Namun, ia tetap memenuhi kebutuhan keluarga dengan tanggung jawab dan penuh kasih. Meski hidup sederhana, ia menjaga izzah (kehormatan) keluarga, tanpa meminta-minta dan tanpa membiarkan mereka kelaparan.

Prinsip utama Hasan: Harta adalah titipan, dan keluarga tidak boleh menjadi alasan untuk mencintai dunia secara berlebihan.



2. Mengelola Kas Negara: Menjaga Amanah Umat

Ketika menjabat sebagai khalifah, Hasan bin Ali hanya memerintah selama beberapa bulan sebelum menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah demi mencegah pertumpahan darah (peristiwa ini dikenal sebagai “Tahun Jamaah”).

Selama kepemimpinannya yang singkat, Hasan bin Ali dikenal tidak mengambil sepeser pun dari kas negara untuk kepentingan pribadi.

Ia memisahkan dengan tegas antara harta umat (baitul mal) dan harta pribadinya. Ia menolak menggunakan harta negara, kecuali untuk urusan umat dan kebutuhan mendesak.

Hasan bin Ali adalah teladan pemimpin yang memandang kekuasaan bukan hak, tapi amanah berat yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.



3. Mengelola Gaji sebagai Khalifah: Menolak Kemewahan

Ketika diangkat menjadi khalifah, Hasan menolak fasilitas mewah. Ia memilih tinggal di rumah biasa dan hidup dari usaha pribadi dan sedekah yang halal, tanpa membebani umat.

Diceritakan bahwa beliau lebih banyak mendermakan hartanya daripada menyimpannya. Bahkan jika diberi harta oleh seseorang, ia segera membaginya kepada yang lebih membutuhkan.

Suatu hari, ia ditanya, “Mengapa engkau banyak bersedekah?”
Ia menjawab: “Aku malu kepada Allah bila aku menerima nikmat-Nya, tapi aku enggan memberi kepada hamba-Nya.”



4. Melunasi Utang: Segera dan Diam-diam

Hasan bin Ali sangat menjaga kehormatan diri dan keluarga dalam soal utang. Ia tidak membiarkan utang menumpuk, dan jika berutang, maka ia akan berusaha melunasi secepat mungkin.

Salah satu teladan luar biasa adalah sikapnya terhadap utang orang lain.

Ia pernah mendengar seorang lelaki dari kalangan sahabat ayahnya terjerat utang. Ia lalu diam-diam menyuruh seseorang membayar seluruh utangnya tanpa memberitahukan sang lelaki.

Bagi Hasan bin Ali, utang bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal kemuliaan jiwa dan kepercayaan sosial.



5. Wasiat Soal Hutang saat Wafat: Tidak Mau Membawa Utang ke Alam Kubur

Menjelang wafatnya, Hasan bin Ali berwasiat kepada saudaranya, Husain, agar melunasi utang-utang pribadinya jika belum sempat terbayar.

"Wahai saudaraku Husain, bila aku wafat dan masih punya utang, maka lunasilah. Aku tidak ingin menghadap Allah dengan membawa hak manusia yang belum ditunaikan."



Wasiat ini menunjukkan betapa beratnya tanggung jawab soal utang dalam pandangan beliau, dan betapa tingginya kehati-hatian Hasan bin Ali terhadap hak-hak orang lain.



Penutup: Hasan bin Ali, Pewaris Akhlak Kenabian

Hasan bin Ali bukan hanya pemimpin yang bijak, tapi juga contoh nyata bagaimana seorang Muslim mulia memperlakukan uang:

Tidak bergantung padanya,

Tidak rakus terhadapnya,

Dan tidak membiarkan dirinya diperbudak oleh dunia.


“Dunia hanya tempat kita memberi, bukan tempat kita menggenggam.”
— Hasan bin Ali

Ali bin Abi Thalib: Kaya Hikmah, Bersih Harta Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra...

Ali bin Abi Thalib: Kaya Hikmah, Bersih Harta

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. adalah pintu ilmu, menantu Rasulullah ï·º, dan khalifah keempat yang hidup dalam gejolak fitnah besar. Namun di tengah konflik politik, beliau tetap menjaga satu hal dengan sangat serius: harta.

Di tangannya, uang tidak berkuasa. Ia tidak menjadi hamba harta, justru menjadikan harta alat untuk menguatkan keadilan dan menjaga harga diri umat.

Inilah enam cara Sayyidina Ali mengelola uang dalam berbagai sisi kehidupannya.



1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bersahaja

Ali hidup dengan Fatimah az-Zahra dalam kesederhanaan luar biasa. Mereka pernah hidup hanya dengan satu tikar kulit dan satu penggiling tangan dari batu.

Suatu hari, Fatimah mengeluh karena tangannya kasar akibat menggiling sendiri gandum. Ia minta pembantu. Tapi Ali berkata:

“Wahai Fatimah, maukah kau kuajari sesuatu yang lebih baik daripada pembantu?”

Lalu ia ajarkan tasbih, tahmid, dan takbir sebagai kekuatan spiritual menggantikan keluhan duniawi.

Ali memberi nafkah seadanya. Ketika uang cukup, mereka makan. Ketika tidak, mereka bersabar. Tapi kehormatan rumah tangga mereka tak pernah dijual demi dunia.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Mandiri dan Produktif

Ali bukan pedagang besar seperti Abu Bakar atau Utsman, tapi ia bekerja keras sebagai buruh, petani, dan penggali sumur. Ia membuka banyak lahan di Madinah dan sekitarnya, menggali sumur dengan tangan sendiri.

Hasil dari pertanian dan airnya diwakafkan. Ia berkata:

“Bekerja dengan tangan sendiri adalah kemuliaan, dan berbagi dengan ikhlas adalah kebebasan.”

Ia menjadikan bisnis sebagai jalan kemandirian, bukan jalan menjadi kaya raya. Tidak bergantung, tidak meminta.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-hati dan Bertanggung Jawab

Ali sangat hati-hati dengan utang. Ia berkata:

“Utang adalah kehinaan di siang hari, dan kegelisahan di malam hari.”

Ia tidak suka berutang, dan tidak suka rakyatnya terlilit utang karena ketidakadilan. Bila seseorang berutang karena kebutuhan mendesak, ia bantu. Tapi bila karena malas, ia ingatkan.

Ia juga tidak meninggalkan utang saat wafat, dan mewasiatkan untuk melunasi semua hak orang sebelum jasadnya ditanam.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Sangat Tegas, Sangat Bersih

Saat menjabat khalifah, Ali ra. memimpin negara dalam kondisi yang kacau: fitnah, pemberontakan, dan perpecahan. Tapi ia tetap memisahkan mutlak antara harta negara dan kepentingan pribadi.

Ia berkata:

“Demi Allah, andai aku kelaparan dan kas negara ada madu dan gandum, aku tidak akan menyentuhnya tanpa hak.”

Ia membakar surat-surat permintaan dari kerabatnya yang meminta jatah. Ia menolak anak-anak Bani Hasyim yang meminta keistimewaan.

Pernah seseorang memberi madu sebagai hadiah, lalu Ali bertanya, “Apakah ini hadiah atau zakat?” Ketika dijawab “zakat,” ia menolak dan berkata:

“Zakat tidak halal bagi keluarga Nabi.”



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Cukup untuk Hidup, Tak Lebih

Ali menerima gaji sebagai khalifah, tapi sangat minimal. Ia hanya mengambil kebutuhan pokok, dan bila berlebih ia kembalikan ke Baitul Mal.

Ia memakai pakaian biasa, makan roti kering dan garam, dan tidak pernah duduk di meja makanan mewah. Bila ada undangan jamuan yang mewah, ia lebih memilih absen.

Ia pernah berkata:

“Apakah pantas aku makan enak, sementara rakyatku lapar?”

Dalam suatu khutbah, ia menangis dan berkata:

 “Bisa jadi di pelosok negeri ini ada orang lapar yang tak aku ketahui. Bagaimana aku akan menjawabnya kelak di hadapan Allah?”



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Semua untuk Allah, Jangan Tinggalkan Beban

Sebelum wafat akibat tusukan Ibnu Muljam, Ali menulis wasiat:

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan harta. Jangan kalian wariskan utang. Tunaikan hak orang sebelum kalian ditanya oleh Allah.”

Ia mewasiatkan tanah, sumur, dan kebun miliknya untuk dijadikan wakaf. Anak-anaknya tidak diwarisi tanah kekuasaan, tapi warisan kehormatan dan ilmu.

Ia wafat dalam keadaan sederhana. Tak ada kekayaan besar. Tak ada istana. Tapi jiwanya telah kaya sejak dulu: kaya dalam takut kepada Allah.



Penutup: Zuhud Bukan Menolak Uang, Tapi Menundukkan Hati dari Dunia

Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa zuhud bukan berarti anti-harta, melainkan menguasai harta, bukan dikuasai olehnya.

Ia menanam dengan tangan sendiri, tapi hasilnya untuk umat.
Ia menjabat khalifah, tapi tak ambil fasilitas.
Ia bisa kaya, tapi memilih mulia.

Kalau para pemimpin dan kepala keluarga meneladani Ali, negeri ini akan penuh amanah, dan harta akan menjadi jalan ke surga, bukan ke neraka.

Utsman bin Affan: Saudagar Dermawan, Khalifah Zuhud Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Utsman bin Affan ra., kha...

Utsman bin Affan: Saudagar Dermawan, Khalifah Zuhud

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Utsman bin Affan ra., khalifah ketiga Islam, adalah sahabat Nabi ï·º yang diberi dua cahaya—menikahi dua putri Rasulullah secara bergantian. Ia adalah pemalu di depan manusia, tapi berani memberi besar-besaran di jalan Allah.

Ia kaya raya, tapi hatinya tak pernah terpaut pada harta. Uang baginya bukan simbol kekuasaan, tapi alat untuk menyelamatkan umat dan membeli ridha Allah.

Inilah cara Utsman bin Affan mengelola harta dalam berbagai peran hidupnya:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Lembut, Adil, dan Penuh Tanggung Jawab

Utsman berasal dari keluarga Quraisy terpandang, dan ia salah satu saudagar sukses di Makkah. Namun kekayaan itu tidak membuatnya pelit atau arogan.

Ia dikenal sangat penyayang terhadap istri-istrinya, termasuk saat mendampingi Ruqayyah dan kemudian Ummu Kultsum (putri Rasulullah ï·º). Ia menafkahi mereka dengan layak, bahkan sering memberikan hadiah atau pakaian mewah sebagai bentuk cinta—tanpa berlebihan.

Tapi di balik kelembutan itu, Utsman tetap menjaga prinsip syariat: tidak boros, tidak riya, dan tidak melampaui batas kemampuan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Profesional, Jujur, dan Berkah

Utsman adalah pedagang yang sangat sukses. Ia berdagang kain, rempah, dan barang kebutuhan pokok hingga memiliki armada dagang sendiri.

Namun prinsipnya dalam berdagang sangat kuat:

Tidak pernah menipu timbangan

Tidak memonopoli

Tidak menimbun barang saat harga naik

Selalu membayar utang dagang tepat waktu

Tidak mengambil keuntungan dari musibah orang lain


Ia pernah berkata:

“Harta ini hanya amanah. Jika Allah mengambilnya kembali, aku rela. Jika Allah memintanya untuk agama-Nya, aku beri.”


Itulah sebabnya, walau hartanya banyak, Utsman tidak pernah tertawa keras di hadapan orang miskin.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Jangan Biarkan Jadi Beban Akhirat

Utsman sangat berhati-hati dalam berutang. Ia tidak berutang untuk spekulasi bisnis, dan lebih memilih memperluas modal dari hasil keuntungan dagang.

Tapi bila orang lain berutang padanya, ia gampang memaafkan. Bahkan ia pernah membebaskan utang seorang sahabat yang tidak mampu bayar, dengan berkata:

“Aku berharap Allah membebaskanku dari utang di akhirat, sebagaimana aku membebaskanmu di dunia.”


Utsman mengajarkan bahwa harta bisa jadi penyelamat, jika digunakan untuk meringankan beban orang lain.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Pisahkan Harta Pribadi dan Publik

Ketika menjadi khalifah, Utsman tetap memisahkan jelas antara harta pribadinya yang melimpah dan kas negara yang harus dijaga.

Ia bahkan tidak mengambil gaji dari Baitul Mal di masa awal pemerintahannya. Ia hidup dari hasil usahanya sendiri. Jika menggunakan fasilitas negara, ia catat dan bayar.

Ia juga memperbaiki administrasi fiskal, mencatat aset negara, dan membentuk unit akuntansi. Ia adalah pemimpin yang menerapkan prinsip audit dan pelaporan kekayaan.

Namun karena ia memberi banyak subsidi dan bantuan, muncul tuduhan nepotisme dari sebagian pihak—yang kelak dimanfaatkan untuk menggulingkannya. Padahal, ia membagikan bantuan bukan karena hubungan darah, tapi karena tanggung jawab sosial.



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Menolak Gaji, Hidup dari Usaha Sendiri

Ketika ditawari gaji sebagai khalifah, Utsman menolak. Ia berkata:

“Aku tidak butuh dari Baitul Mal. Allah telah mencukupiku dari hasil perniagaanku.”


Ia mencontoh Abu Bakar dan Umar, tapi bahkan lebih ketat dalam hal ini.

Ia hidup dari ladang kurma, kebun, dan bisnis kafilah dagangnya yang masih terus berjalan, meski ia memimpin negara besar.

Ia hanya memakai gaji negara jika benar-benar darurat, dan selalu mencatat setiap pengeluaran negara yang ia gunakan.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Kembali kepada Umat, Beli Surga dengan Sedekah

Saat wafat dalam keadaan dizalimi oleh para pemberontak, Utsman tidak meninggalkan utang, tidak meninggalkan kekayaan yang belum dibagi, dan tidak menguasai harta umat.

Ia justru meninggalkan jejak sedekah besar:

Sumur Raumah yang ia beli dan hibahkan untuk rakyat Madinah

Biaya besar untuk perang Tabuk (menyumbang 1.000 unta lengkap dengan peralatannya)

Rumah dan lahan yang ia wakafkan untuk masjid Nabawi

Harta pribadinya yang ia wasiatkan sebagian untuk anak yatim dan fakir miskin


“Jika surga bisa dibeli dengan harta, aku akan membelinya berkali-kali,” demikian prinsip hidupnya.

Ia mati dalam keadaan puasa, membaca Al-Qur'an, dan darahnya menodai mushaf saat ia dibunuh. Dunia mencelakainya, tapi ia sudah membeli akhirat dengan seluruh hartanya.



Penutup: Kaya Tak Harus Rakus

Utsman bin Affan membuktikan bahwa menjadi kaya itu tidak haram, asal:

Jujur dalam mencari

Bersih dalam menggunakan

Banyak dalam memberi

Kecil dalam mengambil

Besar dalam hisab

 Ia adalah simbol kedermawanan tak bersyarat, pemilik harta yang tidak dikuasai dunia, dan pemimpin yang wafat dengan kehormatan dan Al-Qur’an di dadanya.

Umar bin Khattab: Pemimpin Besi dengan Hati yang Takut Hisab karena Uang Ide Tulisan:Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Umar ...


Umar bin Khattab: Pemimpin Besi dengan Hati yang Takut Hisab karena Uang

Ide Tulisan:Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Umar bin Khattab ra., khalifah kedua dalam sejarah Islam, adalah simbol kekuatan dan keadilan. Ia menaklukkan Persia dan sebagian besar wilayah Romawi, tapi tidak pernah menaklukkan satu pun dirham untuk kepentingan dirinya.

Di balik sosoknya yang tegas, tersimpan akhlak luar biasa dalam mengelola uang—baik sebagai ayah, pedagang, pemimpin negara, maupun hamba Allah yang takut akan hisab.



1. Mengelola Uang di Keluarga: Tegas, Adil, dan Tak Berlebihan

Sebagai kepala keluarga, Umar tidak pernah membiarkan istri dan anak-anaknya hidup bermewah-mewah. Ia memberikan kebutuhan pokok secukupnya, tanpa memanjakan.

Pernah suatu hari istrinya meminta tambahan belanja. Umar menjawab:

"Aku tidak memiliki hak lebih dari hak kaum Muslimin lainnya. Jika aku beri lebih, lalu dari mana aku jawab di hadapan Allah?"

Anaknya, Abdullah bin Umar, pernah ingin membeli pakaian bagus. Umar melarang. Ia ingin keluarga khalifah tidak berbeda dengan rakyat biasa.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur dan Penuh Etika

Sebelum masuk Islam, Umar adalah saudagar sukses. Ia berdagang di pasar Ukaz dan Makkah. Tapi bahkan sebelum kenal Islam, ia sudah dikenal jujur dan berani berkata benar.

Setelah masuk Islam, ia lebih berhati-hati. Ia berdagang bukan untuk menumpuk harta, tapi untuk hidup mandiri. Ia tak pernah menimbun barang, menaikkan harga seenaknya, apalagi menipu pelanggan.

Bisnis baginya bukan jalan menjadi kaya, melainkan jalan menghindari meminta-minta dan hidup mulia.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Tak Suka Menunda, Tak Suka Berutang

Umar sangat benci pada orang yang berutang tapi tidak berusaha melunasi. Ia berkata:

"Berhati-hatilah kalian terhadap utang, sebab awalnya kekhawatiran dan akhirnya permusuhan."



Ia tak suka rakyat menggampangkan utang. Tapi ia juga membela orang miskin yang benar-benar terpaksa berutang. Ia memerintahkan Baitul Mal membantu mereka, agar tak dijerat riba.

Umar sendiri dikenal tidak suka berutang. Jika harus meminjam, ia akan segera melunasinya. Bahkan dalam pengawasan pasar, ia menegur pedagang yang terlalu banyak berutang dagang.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Seperti Pengelola Amanah Allah

Umar sangat keras terhadap pengelolaan Baitul Mal. Ia memisahkan urusan pribadi dan negara secara tegas. Ia tak mau memakai lilin negara untuk urusan keluarganya.

Pernah ia kedatangan tamu urusan pribadi, lalu memadamkan lampu. Ketika ditanya, ia menjawab:

“Lampu ini menyala dari harta negara. Dan urusan kita bukan urusan negara.”

Ia juga mencatat sendiri pemasukan dan pengeluaran kas negara, serta mewajibkan para pejabat mencatat dan melaporkan kekayaan mereka. Bila ada yang tiba-tiba kaya, ia akan menyelidikinya.

Harta rampasan perang pun tak pernah ia sentuh untuk kepentingan pribadi. Ia langsung membaginya sesuai syariat dan mendahulukan orang-orang miskin dan keluarga syuhada.



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Cukup Makan dan Pakaian, Tak Lebih

Gaji Umar sebagai khalifah sangat kecil. Ia hanya menerima 2 dirham sehari, cukup untuk makan roti, kurma, dan air. Bahkan terkadang itu pun ia hematkan untuk rakyat.

Pernah sahabat-sahabat mendesak agar ia menaikkan gajinya. Umar menolak. Ia berkata:

“Apakah kalian ingin aku kehilangan keberkahan jabatan ini? Aku cukup dengan apa yang cukup untuk rakyatku.”

Bajunya tambalan. Rumahnya kecil. Ia tak menyimpan makanan lebih dari sehari. Bukan karena ia miskin, tapi karena takut kelak Allah bertanya tentang setiap suap dan kain yang dipakai.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Kembali kepada Rakyat dan Allah

Menjelang wafat karena tusukan Abu Lu’lu’ah, Umar memanggil anak-anaknya dan berkata:

 “Jika aku memiliki utang, lunasilah segera. Jika aku memiliki kelebihan, kembalikan ke Baitul Mal.”

Ia tidak meninggalkan warisan besar. Tidak ada tanah, emas, atau rumah mewah. Ia hanya meninggalkan takut kepada Allah, dan catatan bersih di hadapan umat.

Ia mewasiatkan agar jasadnya dimakamkan di dekat Rasulullah ï·º, tapi tetap meminta izin dari Aisyah lebih dulu—sebagai tamu, bukan sebagai khalifah.



Penutup: Kekuasaan Tak Membuatnya Kaya

Khalifah Umar mengelola harta bukan dengan logika untung-rugi dunia, tapi dengan takut akan hisab dan cinta pada keadilan.

“Jika seekor keledai tergelincir di Irak, aku takut Allah akan tanya: mengapa kau tak perbaiki jalannya, wahai Umar?”


Di zamannya, negara kaya, tapi pemimpinnya tetap hidup sederhana. Rakyat kenyang, tapi pemimpinnya tetap lapar demi menjaga keadilan.

Umar bin Khattab telah membuktikan:
Keadilan bukan teori, tapi pilihan hidup. Dan uang bukan hak, tapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Abu Bakar Ash-Shiddiq: Teladan Mengelola Uang dengan Amanah dan Akhirat di Hati Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGP...


Abu Bakar Ash-Shiddiq: Teladan Mengelola Uang dengan Amanah dan Akhirat di Hati

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT


Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. adalah sahabat Nabi ï·º yang paling dicintai dan khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah. Namun di balik kemuliaan iman dan kepemimpinannya, ada satu hal penting yang kerap dilupakan: cara beliau mengelola uang—dengan akhlak, amanah, dan pandangan akhirat yang tajam.



1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bertanggung Jawab

Abu Bakar hidup dengan penuh kesederhanaan. Rumahnya tak lebih dari bangunan batu sederhana di Madinah. Ia tetap berdagang kain meski telah memeluk Islam dan menjadi tangan kanan Rasulullah.

Suatu ketika, setelah diangkat menjadi khalifah, ia tetap memikul barang dagangannya. Umar bin Khattab melihat dan berkata, "Wahai Abu Bakar, uruslah umat! Kami akan mencukupimu dari Baitul Mal."

Namun ia menjawab, "Siapa yang akan menafkahi keluargaku jika aku tak berdagang?"

Bagi Abu Bakar, keluarga adalah amanah dunia, dan ia tidak ingin membebani umat karena tanggung jawab pribadinya. Ia baru menerima gaji khalifah setelah dipastikan jumlahnya cukup untuk kebutuhan dasar istri dan anak-anaknya, tanpa berlebihan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur dan Bersih

Sebagai pedagang, Abu Bakar terkenal jujur, adil, dan tak pernah menipu. Ia lebih suka mengambil untung sedikit tapi halal daripada meraih banyak keuntungan dari ketidakjujuran.

Ia tidak berutang untuk spekulasi. Ia berdagang berdasarkan modal nyata, dengan prinsip ridha dan kejelasan. Ia tahu bahwa setiap dirham akan dihisab.

Karena kejujurannya, banyak orang Quraisy percaya padanya—dan itulah yang menjadi bekal spiritual ketika ia menemani Rasulullah ï·º hijrah: dipercaya membawa harta dan rahasia, karena dikenal tak pernah menyalahgunakan amanah.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Segera Dilunasi, Jangan Ditunda

Abu Bakar sangat berhati-hati terhadap utang. Ia sering berkata, "Utang kepada manusia adalah beban dunia, dan hisab di akhirat."

Bahkan menjelang wafat, ia mewasiatkan:

 “Barang siapa yang merasa memiliki hak atau piutang atas diriku, hendaklah mendatanginya anakku agar dilunasi.”

Ia tidak pernah menunda-nunda. Bila punya utang, ia akan segera membayar. Bila menerima titipan, ia kembalikan tepat waktu. Ia hidup dengan prinsip: jangan bawa utang ke liang kubur.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Bersih dan Sangat Hati-hati

Sebagai kepala negara, Abu Bakar mengelola Baitul Mal dengan penuh takut kepada Allah. Ia memastikan harta negara tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, bahkan sekadar lilin penerang saat menulis surat pribadi pun ia padamkan jika urusan negara selesai.

Jika ada kelebihan dari kas negara, ia kembalikan. Bila ada kebutuhan darurat dari rakyat, ia prioritaskan.

Ia tidak memungut pajak berlebihan. Zakat dikelola dengan baik. Saat ada pemberontakan yang menolak membayar zakat, Abu Bakar tegas:

 “Demi Allah, aku akan perangi siapa pun yang memisahkan zakat dari salat!”



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Kembalikan Jika Tidak Layak

Gaji khalifah ditetapkan oleh para sahabat dengan sangat minimal. Abu Bakar hanya menerima gaji cukup untuk makan, pakaian sederhana, dan kebutuhan dasar.

Namun menjelang wafatnya, ia merasa khawatir gaji itu melebihi kebutuhannya.

Ia berkata kepada Aisyah ra.:

“Aku telah mengambil beberapa dirham dari Baitul Mal. Jika aku wafat, juallah kebun milikku, dan kembalikan seluruhnya ke kas negara.”


Ia tidak ingin bertemu Allah dalam keadaan masih menanggung harta yang bukan miliknya, meski itu diberikan secara resmi.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Bersih dan Tak Meninggalkan Beban

Sebelum wafat, Abu Bakar menghitung seluruh hartanya. Ia berkata kepada Umar:

“Aku tidak meninggalkan harta, kecuali satu budak, seekor unta, dan satu kebun. Sisanya, kembalikan ke umat.”

Ia mewasiatkan kepada anaknya untuk melunasi semua utangnya dan menyelesaikan segala urusan harta dengan manusia sebelum tubuhnya masuk ke liang lahat.

Ia tidak ingin dikenal sebagai orang kaya, tidak juga dikenang sebagai pemimpin berpakaian mewah. Ia ingin wafat seperti ia hidup: ringan, bersih, dan tak menggantung satu dirham pun milik orang lain.



Teladan di Era Penuh Godaan

Hari ini, ketika banyak orang bangga dengan kekuasaan, jabatan, dan harta, Abu Bakar justru memberi teladan kepemimpinan yang takut kepada Allah dalam setiap sen uang yang dikelola.

Harta tidak membuatnya tinggi,
utang tidak membuatnya merunduk,
dan jabatan tidak mengubah kejujurannya.


Jika para pemimpin, pebisnis, dan kepala keluarga hari ini belajar dari Abu Bakar, mungkin negeri ini akan lebih ringan beban utangnya—baik di dunia, maupun di akhirat.

Sultan-Sultan Minangkabau: Melunasi Utang Demi Marwah Nagari Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Tanah Minangkaba...

Sultan-Sultan Minangkabau: Melunasi Utang Demi Marwah Nagari

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Tanah Minangkabau dikenal sebagai negeri para raja adat, ulama, dan pedagang tangguh. Namun di balik kejayaannya, para sultan dan pemimpin Minang menghadapi tantangan ekonomi serius, terutama sejak abad ke-18 saat intervensi kolonial Belanda dan sistem utang dagang mulai menjerat rakyat.

Dalam kondisi itu, para penghulu adat, raja, dan sultan di nagari-nagari besar Sumatera Barat mengambil sikap. Utang rakyat bukan hanya beban pribadi, tapi kehormatan nagari. Dan ketika marwah nagari terancam karena utang, maka para pemimpinnya harus turun tangan.



1. Sultan Alam Bagagarsyah: Melunasi Utang Rakyat di Era Kolonial

Pada masa Sultan Alam Bagagarsyah (raja Pagaruyung terakhir, 1795–1833), intervensi kolonial Belanda mulai menggoyang ekonomi lokal. Melalui praktik rente dan sistem “pinjaman paksa” kepada para penghulu dan rakyat, banyak nagari jatuh miskin, dan harta pusaka mulai tergadai.

 Sang Sultan:

Menolak pinjaman berbungakan tinggi dari pemerintah kolonial

Melunasi utang beberapa penghulu nagari dari kas kerajaan dan emas simpanan istana

Mewajibkan musyawarah adat untuk menyelesaikan persoalan utang tanpa kekerasan


Beliau berkata kepada para datuk:

“Utang yang membuat rakyat kehilangan sawah dan ladang, akan membuat kita kehilangan harga diri.”



2. Para Datuk Nagari: Melindungi Rakyat dari Utang Menindas

Dalam sistem pemerintahan Minangkabau, para Datuk atau penghulu bukan hanya tokoh adat, tapi juga pelindung ekonomi rakyatnya. Banyak kisah turun-temurun tentang datuk yang:

Menebus tanah rakyat yang digadaikan karena utang

Melarang menjual pusaka tinggi (tanah warisan kaum) demi utang pribadi

Menggalang kas bersama (sando, pitih sanak, pitih nagari) untuk melunasi utang petani dan pedagang kecil


“Tanah pusako bukan untuk dilelang. Bila anak kemenakan terjerat utang, datuk yang terlebih dulu malu.”



3. Ulama Harimau Nan Salapan: Menentang Utang Kolonial dan Rente

Kelompok ulama reformis Minang, seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, dan ulama Harimau Nan Salapan pada abad ke-18–19, bukan hanya berjuang dalam medan jihad fisik, tetapi juga melawan sistem ekonomi rente yang menjajah rakyat.

Mereka:

Membakar buku utang yang dibuat rentenir Belanda dan pedagang Cina di pasar-pasar

Mendirikan lembaga zakat dan pinjaman tanpa bunga

Mendorong rakyat menghindari utang konsumtif dan melawan sistem “gadai pusako”


Tuanku Imam Bonjol berkata:

 “Jika utang menjadikan kita budak, maka membebaskannya adalah jihad.”



4. Falsafah Minang: Utang Adalah Ujian Adat dan Agama

Falsafah Minangkabau menempatkan utang dalam posisi serius:

 “Utang dibayar, janji ditunai.”
“Nan tabao pinjam, nan digadai ditebus.”
“Biar lapar, asal tidak berutang ke musuh.”


Karena itu, kesultanan dan sistem nagari bertanggung jawab membantu rakyat keluar dari jeratan utang yang menghina.



Penutup: Utang, Marwah, dan Kepemimpinan Minangkabau

Para sultan dan pemimpin adat Minangkabau telah memberi contoh:

Tidak menjadikan utang sebagai alat menundukkan rakyat

Menggunakan kas kerajaan dan sistem sako-pusako untuk menolong rakyat

Menjaga agar tanah pusaka tidak terjual demi utang sesaat


 “Kita bukan bangsa peminta, tapi pewaris marwah. Jika anak nagari terjerat utang, pemimpin wajib membebaskannya dengan kehormatan, bukan dengan menjual negeri.”

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (542) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (505) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (489) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (250) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)