Pasukan Islam vs Pasukan Modern: Sebuah Perbandingan Sejarah dan Moralitas Tempur
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Kemenangan tidak hanya datang dari senjata, tapi dari hati yang yakin dan barisan yang kokoh."
Dalam lintasan sejarah, dunia telah menyaksikan berbagai model pasukan tempur: dari balatentara kaum Muslimin yang dibina Rasulullah ï·º di padang pasir Arab, hingga pasukan berteknologi tinggi masa kini yang dikendalikan satelit dan AI. Namun, kemenangan tidak pernah hanya ditentukan oleh kelengkapan senjata, melainkan oleh kekuatan moral, kedisiplinan, dan kejelasan tujuan.
1. Asal dan Tujuan: Pasukan yang Digerakkan oleh Iman vs Kekuasaan
A. Pasukan Islam
Pasukan Islam pada masa Rasulullah ï·º dan Khulafaur Rasyidin bukan sekadar tentara—mereka adalah umat yang bergerak dengan akidah. Mereka bukan dibayar, bukan dilatih karena ambisi dunia, melainkan karena keyakinan bahwa:
“Perang ini adalah jalan menuju ridha Allah.”
Tujuan utamanya bukan menjarah, tapi menegakkan keadilan, menghapus penindasan, dan menjaga amanah dakwah.
Seorang tentara Islam bahkan dilarang:
Membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua.
Merusak tanaman, rumah ibadah, atau membunuh hewan ternak tanpa alasan.
Disiplin moral mereka lahir dari iman, bukan sekadar hukum militer.
B. Pasukan Modern
Pasukan masa kini, terutama di negara-negara besar, lebih banyak digerakkan oleh:
Instruksi politik
Kepentingan ekonomi atau ideologi negara
Dalam banyak kasus—kontrak bayaran dan propaganda nasionalisme sempit
Akibatnya, tujuan mereka seringkali tidak transparan atau bahkan keliru secara moral, seperti:
Invasi Irak (2003) oleh AS berdasarkan informasi palsu.
Pemboman Gaza oleh IDF dengan dalih keamanan, tapi membunuh ribuan warga sipil.
2. Disiplin vs Dehumanisasi
A. Pasukan Islam
Disiplin ditegakkan lewat taqwa dan teladan.
Khalid bin Walid memimpin langsung di garis depan.
Umar bin Khattab melarang pasukannya menang dengan cara licik.
Disiplin mereka bukan kaku, tapi lahir dari rasa tanggung jawab kepada Allah.
B. Pasukan Modern
Disiplin bersifat mekanis, berdasarkan perintah dan hierarki.
Namun dalam praktik, sering muncul penyimpangan:
Pelecehan, penjarahan, pemerkosaan di medan perang.
Banyak tentara modern terjebak dehumanisasi musuh: membunuh karena musuh dianggap bukan manusia, tapi target.
Contoh tragis: pasukan AS di Vietnam atau Afghanistan yang mengalami trauma karena membunuh warga sipil—bukan karena kurang senjata, tapi karena tidak tahu lagi alasan mereka berperang.
3. Mental Tempur dan Ketahanan Jiwa
A. Pasukan Islam
Berperang dengan kesadaran spiritual tinggi.
Dalam Perang Badar, pasukan Muslim hanya 313 orang melawan 1.000 Quraisy.
Namun mereka menang karena keyakinan penuh bahwa “Allah bersama mereka.”
Setiap pertempuran menjadi ajang pembersihan jiwa dan ujian kesungguhan, bukan hanya perebutan wilayah.
B. Pasukan Modern
Banyak pasukan modern mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) setelah perang.
Kenapa? Karena mereka kehilangan makna dari kekerasan yang mereka lakukan.
IDF misalnya, kini menghadapi gelombang trauma, pembangkangan cadangan, dan keraguan internal—karena serangan terhadap Gaza dinilai brutal dan tidak bermoral oleh sebagian tentaranya sendiri.
4. Strategi yang Mengandung Akhlak
A. Pasukan Islam:
Bahkan dalam strategi militer, akhlak tetap dijaga.
Dalam Fathu Makkah, Rasulullah ï·º masuk kota dengan tunduk, tanpa menumpahkan darah.
Dalam suratnya kepada tentara sebelum perang, Khalifah Abu Bakar memberi 10 larangan moral, termasuk: “Jangan membunuh pohon kurma, jangan merusak bangunan.”
B. Pasukan Modern:
Strategi militer modern sering tidak peduli pada akhlak:
Bom fosfor, drone tak berawak, hukuman kolektif.
Gaza dibombardir dengan alasan mencari Hamas, tapi yang hancur adalah rumah sakit, sekolah, dan keluarga sipil.
Akibatnya, musuh memang hancur, tapi legitimasi moral pasukan juga ikut gugur.
Siapa yang Sebenarnya Unggul?
Pasukan Islam menang bukan hanya di medan perang, tapi juga dalam nurani sejarah.
Sementara banyak pasukan modern menang secara teknologi, tapi kalah dalam hati nurani, legitimasi moral, dan kesatuan jiwa.
Peradaban masa kini bisa membangun tank canggih dan rudal pintar, tapi belum tentu bisa membangun tentara yang takut kepada Tuhan dan malu berbuat zalim. Itulah warisan besar yang ditinggalkan Rasulullah ï·º: bahwa perang tidak bisa dilepaskan dari akhlak, dan kemenangan sejati bukan hanya di bumi, tapi juga di langit.
0 komentar: