Gaza Tak Bisa Dihancurkan: Studi Ketahanan Perlawanan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Jika Gaza bisa dihancurkan, itu sudah terjadi sejak lama. Tapi justru dari puing-puing, ia terus bangkit—menantang logika perang modern dengan iman yang bersahaja.
Wilayah yang Tak Kunjung Hilang
Dalam sejarah panjang penjajahan, banyak wilayah telah dihancurkan dan dihapus dari peta dunia—terkubur oleh kekuatan yang lebih besar, atau dilupakan oleh dunia. Namun Gaza bukan salah satunya.
Ia terus hidup, meski setiap unsur kehidupan nyaris direnggut darinya. Ia tetap berdiri bukan karena kekuatan senjata atau dukungan diplomatik, tetapi karena daya hidup kolektif: iman, kesabaran, dan keyakinan bahwa hidup memiliki makna yang lebih tinggi daripada sekadar bertahan hidup.
Tulisan ini bukan sekadar studi militer atau politik, tetapi studi moral dan spiritual atas ketahanan sebuah bangsa yang dipaksa bertahan dalam puing-puing. Setiap bom, blokade, dan propaganda tak menjatuhkan mereka. Sebaliknya, semua itu justru menempa Gaza menjadi simbol perlawanan dunia modern.
1. Ketahanan Itu Dimulai Sebelum Senjata
Sebelum berbicara tentang rudal Qassam, sniper, atau terowongan, kita perlu memahami hal paling mendasar: ketahanan Gaza dimulai dari dada rakyatnya.
Gaza bukan hanya front tempur. Ia adalah madrasah ketahanan hidup—tempat manusia bertahan tanpa harapan ekonomi, tanpa sistem sosial yang layak, tanpa listrik, bahkan tanpa jaminan hidup esok hari—namun tetap memilih untuk tidak menyerah.
Setiap keluarga punya syuhada. Setiap anak lahir dalam blokade. Setiap ibu menanamkan satu pesan sebelum tidur:
“Jangan takut, Nak. Kalau rumah kita hancur, kita masih punya Tuhan.”
2. Infrastruktur Bisa Dihancurkan, Tapi Mental Tak Bisa Ditembus
Israel dapat menghancurkan:
Gedung pemerintah
Terowongan bawah tanah
Rumah sakit, kamp pengungsi, bahkan masjid
Namun yang tak bisa dihancurkan:
Hafalan Qur’an anak-anak Gaza
Jaringan sosial yang saling menopang
Budaya hormat pada syuhada dan semangat kolektif rakyat
Setiap reruntuhan rumah melahirkan posko komunitas. Di tengah kemiskinan, ada ibu yang menyuapi anak tetangganya. Gaza telah bertransformasi dari kota menjadi organisme perlawanan hidup, yang belajar, beradaptasi, dan berkembang dalam keterbatasan.
3. Narasi Perlawanan: Dari Trauma Menuju Keberanian
Di banyak tempat, perang menciptakan trauma jangka panjang. Di Gaza, trauma justru melahirkan kekuatan yang melampaui logika militer.
Anak-anak Gaza:
Tidak lari saat mendengar jet tempur
Tahu jenis suara drone dan arah rudal
Bermain di reruntuhan sambil menyanyikan lagu perjuangan
Ini bukan propaganda. Ini adalah pengalaman kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi: bahwa hidup berarti bertahan, dan bertahan adalah bentuk jihad tertinggi.
4. Teknologi Bisa Diblokade, Tapi Ide Tak Bisa Dilenyapkan
Israel bisa memblokade:
Listrik
Bahan bakar
Internet
Namun tidak bisa memblokade:
Doa dalam diam
Percakapan ayah dan anak tentang kehormatan
Mimpi bocah kecil yang ingin mati syahid
Di sinilah letak kekuatan Gaza yang tak tampak oleh intelijen militer: ketahanan narasi, spiritualitas, dan keyakinan. Dunia mungkin terpecah, tetapi kebenaran tidak membutuhkan banyak pembela—cukup mereka yang tetap percaya.
5. Dari Terowongan ke Teknologi Lokal: Seni Bertahan Gaza
Gaza bukan hanya bertahan, ia juga berinovasi dalam keterdesakan:
Rudal Qassam pertama kali dibuat dari pipa air
Drone dan robot tempur dirakit dari suku cadang bekas
Sistem komunikasi bawah tanah dikembangkan untuk menghindari sadapan
Ini bukan sekadar teknologi alternatif. Ini adalah kecerdikan strategis yang tumbuh dari keterpaksaan, dan hanya bisa lahir dari mereka yang hidup dalam pengepungan, tapi tak kehilangan akal dan nyali.
6. Gaza Tak Sendirian: Ketahanan yang Terdistribusi
Ketahanan Gaza tidak hanya karena Hamas, Jihad Islami, atau Brigade Syuhada Al-Aqsha. Ia juga lahir dari jaringan sosial dan spiritual yang tersebar:
Ulama dan guru yang menjaga asa
Ibu-ibu yang menyembunyikan tangis demi semangat anak-anak
Pemuda-pemuda yang menggantikan syuhada tanpa diminta
Dan yang paling kuat: dukungan spiritual jutaan umat.
Setiap takbir, setiap sumbangan kecil, setiap doa di sepertiga malam—adalah bahan bakar yang menjaga bara itu tetap menyala.
7. Yang Bertahan Adalah Mereka yang Tahu Untuk Apa Mereka Mati
Israel berperang demi keamanan dan supremasi.
Gaza bertahan demi martabat dan keimanan.
Israel terus dihantui kehancuran moral.
Gaza justru makin terasah oleh kesakitan dan kehilangan.
“Mereka merencanakan untuk menghancurkanmu, tapi Allah juga merencanakan. Dan Allah sebaik-baik Perencana.”
(QS Al-Anfal: 30)
Gaza tak bisa dihancurkan bukan karena ia kuat, tapi karena ia telah memilih untuk tidak menyerah.
Dan dalam sejarah manusia, bangsa yang memilih bertahan dengan kesabaran—meski tubuhnya hancur, meski dunia diam—adalah bangsa yang pada akhirnya akan menang.
0 komentar: