Reposisi Diplomasi Arab Saudi Terhadap Penjajah Israel dan Amerika Demi Palestina?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Selama puluhan tahun, Arab Saudi dipandang sebagai pilar utama blok Amerika di Timur Tengah—penguasa ladang minyak, pembeli senjata terbesar AS, dan mitra dalam berbagai proyek stabilisasi kawasan. Namun sejak perang Gaza meletus pada 7 Oktober 2023, muncul pertanyaan mendalam:
Apakah Arab Saudi masih sekutu setia Amerika dan diam terhadap penjajahan Israel?
Ataukah kini mereka sedang mengubah haluan, melakukan reposisi, dan mengambil sikap berbeda demi Palestina?
Dari diplomasi yang lebih berani hingga manuver geopolitik baru, Riyadh tampaknya sedang mempelajari ulang seni perlawanan dalam bingkai diplomasi. Perubahan ini belum tentu revolusioner, tapi bisa jadi fondasi transformasi besar dunia Arab di abad ke-21.
1. Menahan Normalisasi: Diplomasi Demi Gaza, Bukan Sekadar Simbolik
Amerika terus menggoda Arab Saudi untuk menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel, mengikuti jejak UEA, Bahrain, dan Maroko di bawah payung Abraham Accords. Namun Arab Saudi tetap tegas:
“Tidak ada normalisasi tanpa kemerdekaan Palestina.”
Pernyataan ini bukan basa-basi. Riyadh menunda sejumlah kesepakatan strategis besar dengan Washington, termasuk aliansi keamanan dan kerja sama nuklir sipil, sebagai bentuk ketegasan atas isu Palestina. Diplomasi Saudi menunjukkan bahwa mereka tak ingin terseret ke dalam perdamaian palsu yang mengabaikan keadilan.
2. Investasi Strategis: Bukan Penyerahan, Tapi Alat Tawar
Saudi masih membeli senjata dari AS, tetapi kini dengan logika baru. Transaksi militer diperlakukan sebagai alat tawar, bukan bentuk ketergantungan.
Lebih dari itu, Riyadh memperluas sayapnya:
Bergabung dengan BRICS, menantang dominasi dolar dan G7
Menguatkan hubungan dagang dan teknologi dengan China
Menjalin komunikasi militer diam-diam dengan Rusia
Mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dolar dalam perdagangan regional
Pergeseran ini bukan saja bersifat teknokratis, melainkan mencerminkan perlawanan terhadap arsitektur geopolitik lama yang dibentuk AS dan sekutunya, termasuk Israel.
3. Rekonsiliasi Timur Tengah: Meretas Blokade Lama, Menyatukan Poros Baru
Langkah paling mencolok adalah pembukaan pintu kerja sama dengan tiga negara yang selama ini menjadi “musuh tradisional” Saudi—dan juga musuh Israel: Iran, Suriah, dan Turki.
Dengan Iran, Saudi menandatangani kesepakatan damai bersejarah yang ditengahi China. Ini membuka komunikasi langsung Riyadh–Teheran, termasuk dalam isu Palestina.
Dengan Suriah, mereka mendukung kembalinya Damaskus ke Liga Arab dan mengecam keras serangan Israel ke konsulat Iran—sikap yang sangat berbeda dari masa lalu.
Dengan Turki, ketegangan pasca pembunuhan Jamal Khashoggi diredam. Kini, kedua negara menyuarakan sikap bersama dalam membela Gaza.
Manuver ini menunjukkan bahwa Arab Saudi tidak lagi mengikuti skenario geopolitik buatan Amerika dan Israel, melainkan merintis poros baru dunia Islam.
4. Gaza: Ujian Nyata dan Titik Balik Diplomatik
Perang Gaza menjadi cermin dan ujian. Arab Saudi tidak hanya mengutuk secara retoris, tetapi:
Menolak skema pemindahan paksa warga Gaza ke Sinai
Mengorganisir KTT Islam yang menghasilkan kecaman kolektif terhadap Israel
Mendorong gencatan senjata melalui Dewan Keamanan PBB
Menyalurkan bantuan kemanusiaan.
Lebih dari itu, Saudi menyuarakan bahwa solusi dua negara hanyalah titik awal. Mereka menyerukan kemerdekaan penuh Palestina sebagai tujuan akhir yang harus diperjuangkan di panggung global.
5. Diplomasi sebagai Medan Jihad Modern
Sejarah Palestina bukan hanya tentang senapan dan batu, tapi juga tentang diplomasi yang teguh. Dalam konteks ini, Arab Saudi sedang menghidupkan kembali watak perlawanan—bukan dengan senjata, tetapi melalui strategi jangka panjang yang berakar pada harga diri Islam.
“Diplomasi bukan sekadar basa-basi di meja perundingan. Ia adalah seni menolak tunduk di saat semua orang diam.”
Riyadh tampaknya tengah menapaki jalan baru: berdaulat secara diplomatik, bermartabat secara moral, dan bersuara untuk Palestina.
Menuju Peta Baru Dunia Islam?
Hari ini, Arab Saudi berada di tengah pusaran:
Di satu sisi, masih menjaga kepentingan ekonomi dan militer dengan Amerika
Di sisi lain, membangun koneksi ke China, Rusia, Iran, Suriah, dan Turki
Di tengahnya, mempertegas identitas politik Islam yang mendukung Palestina
Reposisi ini belum final. Tapi bila terus berlanjut, ia bisa menjadi titik balik dunia Arab dari sekadar objek diplomasi global menjadi subjek sejarah yang menentukan.
Kesimpulan:
Reposisi Arab Saudi bukan sekadar permainan taktis untuk menenangkan opini publik Muslim, melainkan refleksi dari kesadaran baru: bahwa kehormatan politik dan keberpihakan pada Palestina adalah ujian kedaulatan sejati. Jika Saudi konsisten melangkah di jalan ini, maka babak baru perlawanan terhadap penjajahan—dengan strategi, bukan sekadar senjata—akan benar-benar dimulai.
Dan Palestina, akhirnya, bukan lagi sekadar isu, tapi identitas.
0 komentar: