Mengapa Mekah Tertinggal, dan Madinah Menang?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Pertanyaan “mengapa akhirnya kafir Quraisy Mekah tertinggal oleh Madinah” bukan sekadar soal siapa yang unggul secara militer atau politik. Ini adalah soal nilai: siapa yang membangun peradaban, siapa yang mempertahankan kekuasaan. Siapa yang membuka diri terhadap kebenaran, siapa yang menolaknya karena takut kehilangan kuasa.
Sejarah awal Islam memperlihatkan kontras yang mencolok antara dua kota: Mekah—pusat kekuasaan Quraisy yang keras kepala, dan Madinah—tanah hijrah yang penuh harapan. Dalam kontras itu, kita menemukan pelajaran penting tentang arah sebuah peradaban.
1. Mekah Memelihara Kekuasaan, Madinah Membangun Peradaban
Mekah adalah kota elit. Kabilah-kabilah besar seperti Bani Umayyah dan Bani Makhzum mengendalikan Ka'bah sebagai pusat ritual dan ekonomi. Kekuasaan dipegang atas nama keturunan, simbol, dan tradisi.
Ketika Rasulullah ï·º datang membawa dakwah tauhid, mereka tidak melihatnya sebagai panggilan moral. Mereka melihatnya sebagai ancaman politik.
“Kami dan Bani Hasyim bersaing dalam kemuliaan... hingga mereka berkata: ‘Dari kami ada Nabi.’ Kapan kami bisa menyamai itu?”
— Abu Jahl (Ibnu Hisyam)
Islam mengancam seluruh ekosistem kekuasaan: domestikasi agama, dominasi ekonomi, dan sistem sosial timpang. Tauhid membongkar kesenjangan. Persamaan menghantam kasta. Dan karena itulah, ia ditolak.
Madinah sebaliknya. Rasulullah ï·º datang dan ditawarkan menjadi pemimpin. Di sana beliau membangun negara dengan Piagam Madinah, meletakkan dasar persatuan antar suku, dan memulai proyek besar: peradaban berbasis akhlak dan wahyu.
2. Mekah Penuh Hasad, Madinah Penuh Hijrah
Quraisy menolak Muhammad ï·º bukan karena tidak tahu siapa beliau, tapi karena kebenaran itu datang dari luar struktur yang mereka kuasai.
“Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari dua negeri ini?” (QS. Az-Zukhruf: 31)
Mereka tidak menerima kebenaran yang tidak lahir dari kelompok mereka sendiri. Bagi mereka, kekuasaan dan kebenaran adalah satu paket yang hanya boleh diwarisi, bukan dicari.
Berbeda dengan penduduk Madinah—terutama kaum Anshar—yang menerima Rasulullah ï·º dengan tulus. Mereka tidak merasa kalah karena menerima kebenaran dari luar. Mereka merasa diberkahi.
Orang Mekah berkata: “Kenapa dia?”
Orang Madinah berkata: “Alhamdulillah, Allah kirimkan dia kepada kami.”
3. Mekah Mematikan Akal, Madinah Menghidupkan Ilmu
Quraisy mendasarkan keyakinan mereka pada keturunan, simbol, dan tradisi. Mereka menolak berpikir. Mereka menolak bertanya.
“Kami hanya mengikuti agama nenek moyang kami.” (QS. Az-Zukhruf: 22)
Simbol-simbol seperti patung, gelar-gelar kehormatan, dan warisan kabilah dijadikan standar kebenaran. Akal dibungkam oleh adat. Kritik dianggap pengkhianatan.
Sementara di Madinah, Rasulullah ï·º menumbuhkan tradisi ilmu dan musyawarah. Akal dihargai. Hati dibimbing. Sahabat dididik menjadi pemimpin, mujahid, guru, dan hakim.
Saat Quraisy sibuk melawan wahyu, Madinah sibuk menghidupkan akal dan adab.
4. Mekah Menguasai dengan Teror, Madinah Memimpin dengan Cinta
Quraisy menggunakan siksaan, boikot, teror, dan propaganda untuk mempertahankan dominasi. Bilal, Sumayyah, Yasir—disiksa di depan umum. Bani Hasyim diboikot dan dibiarkan kelaparan. Nabi ï·º dicitrakan sebagai gila, perusak tatanan, pemecah belah.
“Jika kamu ikut Muhammad, kamu akan disiksa!”
— Narasi Quraisy
Di Madinah, kekuasaan bukan dipertahankan lewat ketakutan, tapi dibangun di atas ukhuwah, kasih sayang, dan visi kenabian.
“Jika kamu ikut Muhammad, kamu akan diselamatkan.”
— Suara Madinah
5. Mekah Terpecah karena Kepentingan, Madinah Bersatu karena Akidah
Quraisy retak dari dalam. Bani Umayyah dan Bani Makhzum bersaing dalam dominasi. Elit saling mencurigai. Mereka tidak bersatu karena cinta kebenaran, tapi karena takut kehilangan kekuasaan.
Madinah justru bersatu meski terdiri dari banyak faksi: Aus, Khazraj, Muhajirin. Mereka mengesampingkan ego suku demi iman. Piagam Madinah mempersatukan mereka dalam satu visi: kebenaran di atas segala identitas sosial.
“Kaum Anshar memberi tempat, kaum Muhajirin membawa iman. Maka Allah pun menurunkan kemenangan.”
6. Mekah Menolak Risalah, Madinah Menerima Rasul
Di Mekah, Rasulullah ï·º diusir dan dituduh sebagai perusak.
Di Madinah, beliau diterima sebagai nabi, guru, hakim, dan panglima. Di sana, wahyu dijadikan dasar negara, dan cinta dijadikan arah pembangunan.
Yang menolak kebenaran akan tersesat. Yang menerimanya akan dituntun menuju kejayaan.
Jalan Madinah untuk Umat Hari Ini
Mekah mempertahankan simbol. Madinah membangun substansi.
Mekah sombong dalam kuasa. Madinah rendah hati dalam iman.
Mekah menolak perubahan. Madinah memeluk wahyu.
Itulah sebabnya, Madinah menang. Mekah tertinggal.
Dan hari ini, jika umat ingin bangkit, mereka harus memilih jalan Madinah: iman di atas identitas, ilmu di atas warisan, dan cinta kebenaran di atas cinta kekuasaan.
Karena peradaban tidak dibangun dari kekuatan, tapi dari keberanian untuk merangkul kebenaran—meski datang dari luar lingkaran kita.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif