basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Mengapa Mekah Tertinggal, dan Madinah Menang? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pertanyaan “mengapa akhirnya kafir Quraisy Mekah tertin...

Mengapa Mekah Tertinggal, dan Madinah Menang?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Pertanyaan “mengapa akhirnya kafir Quraisy Mekah tertinggal oleh Madinah” bukan sekadar soal siapa yang unggul secara militer atau politik. Ini adalah soal nilai: siapa yang membangun peradaban, siapa yang mempertahankan kekuasaan. Siapa yang membuka diri terhadap kebenaran, siapa yang menolaknya karena takut kehilangan kuasa.

Sejarah awal Islam memperlihatkan kontras yang mencolok antara dua kota: Mekah—pusat kekuasaan Quraisy yang keras kepala, dan Madinah—tanah hijrah yang penuh harapan. Dalam kontras itu, kita menemukan pelajaran penting tentang arah sebuah peradaban.



1. Mekah Memelihara Kekuasaan, Madinah Membangun Peradaban

Mekah adalah kota elit. Kabilah-kabilah besar seperti Bani Umayyah dan Bani Makhzum mengendalikan Ka'bah sebagai pusat ritual dan ekonomi. Kekuasaan dipegang atas nama keturunan, simbol, dan tradisi.

Ketika Rasulullah ï·º datang membawa dakwah tauhid, mereka tidak melihatnya sebagai panggilan moral. Mereka melihatnya sebagai ancaman politik.

“Kami dan Bani Hasyim bersaing dalam kemuliaan... hingga mereka berkata: ‘Dari kami ada Nabi.’ Kapan kami bisa menyamai itu?”
— Abu Jahl (Ibnu Hisyam)

Islam mengancam seluruh ekosistem kekuasaan: domestikasi agama, dominasi ekonomi, dan sistem sosial timpang. Tauhid membongkar kesenjangan. Persamaan menghantam kasta. Dan karena itulah, ia ditolak.

Madinah sebaliknya. Rasulullah ï·º datang dan ditawarkan menjadi pemimpin. Di sana beliau membangun negara dengan Piagam Madinah, meletakkan dasar persatuan antar suku, dan memulai proyek besar: peradaban berbasis akhlak dan wahyu.



2. Mekah Penuh Hasad, Madinah Penuh Hijrah

Quraisy menolak Muhammad ï·º bukan karena tidak tahu siapa beliau, tapi karena kebenaran itu datang dari luar struktur yang mereka kuasai.

“Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari dua negeri ini?” (QS. Az-Zukhruf: 31)

Mereka tidak menerima kebenaran yang tidak lahir dari kelompok mereka sendiri. Bagi mereka, kekuasaan dan kebenaran adalah satu paket yang hanya boleh diwarisi, bukan dicari.

Berbeda dengan penduduk Madinah—terutama kaum Anshar—yang menerima Rasulullah ï·º dengan tulus. Mereka tidak merasa kalah karena menerima kebenaran dari luar. Mereka merasa diberkahi.

Orang Mekah berkata: “Kenapa dia?”
Orang Madinah berkata: “Alhamdulillah, Allah kirimkan dia kepada kami.”



3. Mekah Mematikan Akal, Madinah Menghidupkan Ilmu

Quraisy mendasarkan keyakinan mereka pada keturunan, simbol, dan tradisi. Mereka menolak berpikir. Mereka menolak bertanya.

“Kami hanya mengikuti agama nenek moyang kami.” (QS. Az-Zukhruf: 22)

Simbol-simbol seperti patung, gelar-gelar kehormatan, dan warisan kabilah dijadikan standar kebenaran. Akal dibungkam oleh adat. Kritik dianggap pengkhianatan.

Sementara di Madinah, Rasulullah ï·º menumbuhkan tradisi ilmu dan musyawarah. Akal dihargai. Hati dibimbing. Sahabat dididik menjadi pemimpin, mujahid, guru, dan hakim.

Saat Quraisy sibuk melawan wahyu, Madinah sibuk menghidupkan akal dan adab.



4. Mekah Menguasai dengan Teror, Madinah Memimpin dengan Cinta

Quraisy menggunakan siksaan, boikot, teror, dan propaganda untuk mempertahankan dominasi. Bilal, Sumayyah, Yasir—disiksa di depan umum. Bani Hasyim diboikot dan dibiarkan kelaparan. Nabi ï·º dicitrakan sebagai gila, perusak tatanan, pemecah belah.

“Jika kamu ikut Muhammad, kamu akan disiksa!”
— Narasi Quraisy

Di Madinah, kekuasaan bukan dipertahankan lewat ketakutan, tapi dibangun di atas ukhuwah, kasih sayang, dan visi kenabian.

“Jika kamu ikut Muhammad, kamu akan diselamatkan.”
— Suara Madinah



5. Mekah Terpecah karena Kepentingan, Madinah Bersatu karena Akidah

Quraisy retak dari dalam. Bani Umayyah dan Bani Makhzum bersaing dalam dominasi. Elit saling mencurigai. Mereka tidak bersatu karena cinta kebenaran, tapi karena takut kehilangan kekuasaan.

Madinah justru bersatu meski terdiri dari banyak faksi: Aus, Khazraj, Muhajirin. Mereka mengesampingkan ego suku demi iman. Piagam Madinah mempersatukan mereka dalam satu visi: kebenaran di atas segala identitas sosial.

“Kaum Anshar memberi tempat, kaum Muhajirin membawa iman. Maka Allah pun menurunkan kemenangan.”



6. Mekah Menolak Risalah, Madinah Menerima Rasul

Di Mekah, Rasulullah ï·º diusir dan dituduh sebagai perusak.
Di Madinah, beliau diterima sebagai nabi, guru, hakim, dan panglima. Di sana, wahyu dijadikan dasar negara, dan cinta dijadikan arah pembangunan.

Yang menolak kebenaran akan tersesat. Yang menerimanya akan dituntun menuju kejayaan.



Jalan Madinah untuk Umat Hari Ini

Mekah mempertahankan simbol. Madinah membangun substansi.
Mekah sombong dalam kuasa. Madinah rendah hati dalam iman.
Mekah menolak perubahan. Madinah memeluk wahyu.

Itulah sebabnya, Madinah menang. Mekah tertinggal.

Dan hari ini, jika umat ingin bangkit, mereka harus memilih jalan Madinah: iman di atas identitas, ilmu di atas warisan, dan cinta kebenaran di atas cinta kekuasaan.

Karena peradaban tidak dibangun dari kekuatan, tapi dari keberanian untuk merangkul kebenaran—meski datang dari luar lingkaran kita.

Israel di Jalur Suriah? Ketika Rezim Sibuk Berkuasa, Negara Perlahan Hancur Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di awal dekade 2010-an, P...

Israel di Jalur Suriah? Ketika Rezim Sibuk Berkuasa, Negara Perlahan Hancur

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di awal dekade 2010-an, Presiden Bashar al-Assad menghadapi gelombang protes rakyat dan pemberontakan bersenjata. Alih-alih berdialog dan membangun rekonsiliasi nasional, Assad memilih jalur represi brutal. Ia membuka front perang melawan rakyatnya sendiri, dan mengundang kekuatan asing—Rusia dan Iran—untuk mempertahankan kekuasaannya.

Hasilnya?

Suriah bukan hanya kehilangan oposisi, tapi kehilangan negara.

Hampir dua pertiga wilayah Suriah hancur. Infrastruktur luluh lantak. Ekonomi kolaps. Separuh warganya menjadi pengungsi. Yang bertahan adalah rezim, tapi yang runtuh adalah tanah airnya.



Netanyahu di Titik yang Sama?

Hari ini, dunia melihat Benjamin Netanyahu membuka begitu banyak front perang:

Di Gaza, operasi militer yang tak berujung, dengan kehancuran luar biasa.

Di Lebanon, ketegangan yang mengancam perang terbuka dengan Hizbullah.

Di Yaman, serangan drone dan rudal dari Ansharullah mengguncang jalur logistik.

Di Iran, konfrontasi terbuka melalui serangan ke konsulat dan ilmuwan.


Seolah belum cukup, Netanyahu juga menghadapi konflik internal:

Krisis konstitusi akibat reformasi yudisial.

Demonstrasi massal selama berbulan-bulan.

Polarisasi tajam antara kelompok sekuler dan ultra-ortodoks.

Penolakan sebagian elite militer terhadap kebijakan kabinet sayap kanan ekstrem.

Lalu, siapa yang kini diminta Netanyahu untuk menjaga kekuasaannya? Amerika Serikat.

Washington dikirim untuk mengawal kapal dagang Israel di Laut Merah. Armada militer AS ditempatkan di sekeliling Timur Tengah. Bahkan, miliaran dolar bantuan militer terus dikucurkan—bukan untuk membangun masa depan, tapi untuk menambal kekacauan hari ini.



Kekuasaan Bisa Bertahan, Tapi Negara Bisa Runtuh

Bashar al-Assad tetap bertahan di istananya di Damaskus. Tapi apa yang dipimpinnya?

Negara yang terfragmentasi.

Ekonomi yang bergantung pada bantuan Iran dan Rusia.

Warga yang tercerai-berai antara pengungsi, korban perang, dan oposisi yang terkubur.


Apakah Israel akan sampai ke titik itu?

Tanda-tandanya mulai terlihat:

Investor pergi.

Talenta teknologi hengkang.

Pariwisata mati.

Perdagangan terguncang.

Dunia mengecam.


Netanyahu mungkin sedang memenangkan pertempuran politik dalam negerinya. Tapi ia mulai kehilangan “negara” sebagai proyek bersama.



Rezim yang Memenangkan Kekuasaan, Tapi Mengorbankan Bangsa

Pertanyaan besarnya: untuk siapa semua ini diperjuangkan?

Rakyat Israel? Banyak yang ingin gencatan senjata.

Militer? Banyak yang frustasi dengan tujuan yang kabur.

Negara Yahudi? Dunia mulai mempertanyakan moralitas eksistensinya.

Jangan sampai, seperti Suriah, Israel hanya akan menjadi cangkang kosong dari “negara”—yang dipertahankan demi sekelompok elite, dengan biaya kehancuran nasional.



Seharusnya Mencontoh Mandela, Bukan Assad

Alih-alih mempertahankan kekuasaan dengan jalan kekerasan, Israel seharusnya belajar dari Nelson Mandela.

Mandela bukan hanya melawan apartheid, tetapi mengubah rasa dendam menjadi rekonsiliasi. Ia tidak mengandalkan kekuatan senjata, tetapi moralitas dan keadilan yang menyatukan bangsa. Ia tak takut kehilangan kekuasaan, karena yang ia perjuangkan bukan sekadar rezim, tapi masa depan bersama.

Bayangkan jika Israel memilih jalan Mandela—menerima hak Palestina, mengakui kesalahan sejarah, dan membangun perdamaian sejati. Bukan hanya dunia akan memandang hormat, tapi negara itu akan selamat dari kehancuran yang disebabkan oleh perang abadi.

Namun pertanyaan besarnya adalah:

Dengan karakter Zionisme yang eksklusif, supremasis, dan trauma masa lalu yang belum selesai—mungkinkah Israel benar-benar mengambil jalan Mandela?

Zionisme bukan sekadar proyek negara, tapi ideologi yang dibangun atas ketakutan akan punah dan keyakinan akan keistimewaan etnis. Ia meletakkan identitas negara bukan pada keadilan universal, tapi pada dominasi dan pengecualian.
Jika Mandela memilih untuk mengampuni lawan-lawan kulit putihnya, Zionisme justru hidup dari ketakutan terhadap "yang lain"—terutama jika ia Muslim dan Arab.

Inilah paradoks eksistensial Israel hari ini:

Untuk bertahan sebagai negara demokratis dan dihormati, ia harus membongkar watak dasar Zionisme.
Tapi jika watak itu dibongkar, Israel bukan lagi Israel seperti yang didefinisikan oleh para pendirinya.



Penutup

Rezim Assad bertahan, tapi Suriah hancur.
Jika Netanyahu tidak berhenti membakar, Israel mungkin menyusul.

Negara yang sibuk memerangi semua musuhnya, akan lupa membangun dirinya.
Dan pada akhirnya, yang kalah bukan hanya yang di luar pagar—tapi juga yang memegang kendali di dalam.

Sebuah bangsa bisa bangkit dari luka sejarah, tapi tidak dari kesombongan yang menolak perdamaian.

Ketika Negara Arab Melesat, Israel Terseret oleh Perangnya Sendiri Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejak 7 Oktober 2023, peta politik...

Ketika Negara Arab Melesat, Israel Terseret oleh Perangnya Sendiri

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Sejak 7 Oktober 2023, peta politik dan ekonomi Timur Tengah mengalami pergeseran yang mengejutkan. Saat Israel terjebak dalam konflik yang makin meluas—di Gaza, perbatasan Lebanon, Laut Merah, dan bahkan dalam negeri sendiri—negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar justru mencatat lonjakan investasi, kemajuan teknologi, dan konsolidasi diplomatik yang stabil.

Ironi ini semakin mencolok: negara yang mengandalkan kekuatan militer, kini mulai kalah dalam perlombaan teknologi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sementara itu, tetangganya yang dulu dianggap tertinggal, justru mulai memimpin narasi pembangunan masa depan Timur Tengah.



Investasi Mengalir ke Teluk, Menjauh dari Israel

Salah satu indikator paling mencolok adalah aliran dana investasi asing langsung (FDI). Sepanjang 2023:

Arab Saudi berhasil menarik lebih dari $30 miliar FDI, berkat proyek ambisius NEOM dan program Vision 2030 yang membuka berbagai sektor non-migas.

UEA mencatat $23 miliar FDI, didorong oleh regulasi bisnis yang ramah investor dan posisi strategis Dubai sebagai pusat perdagangan global.

Qatar, meskipun berukuran kecil, tetap mampu meraup sekitar $6–7 miliar FDI, terutama pasca kesuksesan Piala Dunia dan penguatan sektor teknologi.


Di sisi lain, arus investasi ke Israel justru anjlok. Menurut laporan Bloomberg dan sumber ekonomi dalam negeri, FDI Israel turun lebih dari 60% pada kuartal pertama 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Bank Mizrahi Tefahot, salah satu lembaga keuangan terbesar Israel, bahkan memperingatkan bahwa negara itu kini berada pada “titik paling berbahaya sejak berdirinya” akibat eksodus investor dan ketidakstabilan politik berkepanjangan.



Kekhawatiran dari Dalam Negeri Israel Sendiri

Sejumlah tokoh penting Israel mulai angkat bicara. Prof. Aaron Ciechanover, pemenang Nobel dan tokoh akademik terkemuka, menyebut adanya fenomena “silent departure”—yaitu keluarnya para elite teknologi dan intelektual dari Israel akibat perang dan fragmentasi internal.

Prof. Eugene Kandel, mantan kepala Dewan Ekonomi Nasional Israel, bahkan menyebut fenomena ini sebagai ancaman eksistensial, bukan sekadar tantangan teknis. Bagi Kandel, hilangnya kepercayaan investor dan tenaga profesional akan menghantam jantung kekuatan inovatif Israel dalam jangka panjang.



Israel Kehilangan Momentum Teknologi

Israel selama ini dikenal sebagai “Start-Up Nation.” Namun sejak perang berkecamuk dan tensi politik meningkat, ekosistem teknologi Israel mulai stagnan:

Menurut Yariv Kesner, seorang investor teknologi, dukungan negara terhadap sektor AI dan semikonduktor kini tertinggal dibandingkan Arab Saudi dan UEA.

Amir Mizroch, analis teknologi Israel, menyatakan bahwa negara-negara Teluk telah melampaui Israel dalam skala infrastruktur digital, energi bersih, dan pusat data.


Kontrasnya tajam. UEA membangun universitas AI pertama di dunia. Arab Saudi mengalokasikan $40 miliar untuk pengembangan AI dan robotika. Qatar memperluas proyek Smart Nation dengan dukungan global. Sementara itu, di Israel, sebagian besar tenaga profesional teknologi malah kembali ke barak militer—menjadi tentara cadangan.



Negara Arab Menang Karena Stabilitas

Kunci kemajuan negara-negara Teluk bukan hanya uang, tapi stabilitas dan visi jangka panjang. Arab Saudi, UEA, dan Qatar kini menawarkan kepada dunia:

Kepastian hukum dan politik.

Arah pembangunan nasional yang jelas.

Infrastruktur teknologi modern.

Kekuatan diplomasi yang tumbuh, bukan terjebak dalam konflik.


Sebaliknya, Israel menghadapi polarisasi internal, reformasi yudisial yang memicu krisis konstitusi, serta tekanan ekonomi akibat perang yang tak kunjung usai.



Bangun atau Terus Berperang?

Israel mungkin masih menang dalam hal serangan militer dan kekuatan intelijen. Tapi perang bukan satu-satunya medan kontestasi abad ini. Yang menentukan masa depan adalah inovasi, kestabilan, dan kemampuan beradaptasi terhadap arus global.

Sementara negara-negara Arab belajar dan bergerak menuju era pascaminyak, Israel justru terjebak dalam siklus militerisasi dan ketegangan internal.

Sebuah bangsa tidak akan bisa membangun masa depan, jika setiap hari waktunya habis untuk berperang di masa kini.



Penutup

Apa yang terjadi hari ini adalah pergeseran halus tapi dalam: Israel mulai kehilangan daya tariknya sebagai pusat inovasi dan stabilitas, sementara negara-negara Arab mulai mengambil posisi sebagai pemimpin pembangunan Timur Tengah.

Kemenangan bukan hanya soal peluru, tapi juga soal rencana.
Dan hari ini, rencana-rencana besar itu sedang digambar di Riyadh, Doha, dan Abu Dhabi—bukan di Tel Aviv.

Abu Bashir, Ansharullah dan Perlawanan dari Pinggiran  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam sejarah Islam, tak semua tokoh besar dik...


Abu Bashir, Ansharullah dan Perlawanan dari Pinggiran 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam sejarah Islam, tak semua tokoh besar dikenal karena berada di panggung utama. Ada yang hadir dari pinggiran, namun getarannya menjungkirbalikkan sistem yang mapan. Abu Bashir al-‘Utqi adalah salah satunya. Ia bukan panglima, bukan penandatangan perjanjian Hudaibiyah. Tapi perlawanan kecilnya mengubah isi pasal dan membuat Quraisy menyerah tanpa perang.

Kini, lebih dari 1.400 tahun setelahnya, semangat Abu Bashir tampaknya hidup kembali, kali ini di pegunungan Yaman, dalam rupa rudal dan drone Ansharullah yang mengguncang jalur ekonomi Laut Merah. Dan sejarah, sekali lagi, bicara dengan nada yang sama: jika keadilan ditahan oleh teks perjanjian, maka perlawanan akan lahir dari luar teks itu sendiri.



Hudaibiyah dan Perlawanan Abu Bashir

Perjanjian Hudaibiyah yang ditandatangani antara Rasulullah ï·º dan Quraisy pada tahun ke-6 Hijriyah menyepakati beberapa hal: di antaranya, siapa pun dari Makkah yang melarikan diri ke Madinah harus dikembalikan, sedangkan yang lari dari Madinah ke Quraisy tidak boleh ditahan. Pasal ini terasa timpang, namun diterima Rasulullah ï·º demi membuka peluang dakwah jangka panjang.

Tak lama, datanglah Abu Bashir, seorang Muslim yang disiksa oleh Quraisy, meminta perlindungan ke Madinah. Namun karena terikat perjanjian, Rasulullah ï·º berkata:

“Wahai Abu Bashir, kita telah terikat janji. Aku tak bisa menolongmu. Tapi yakinlah, Allah akan membukakan jalan.”

Abu Bashir dikembalikan. Tapi dalam perjalanan pulang, ia membunuh salah satu pengawal Quraisy dan melarikan diri. Ia tidak kembali ke Madinah, karena itu akan melanggar pasal. Sebaliknya, ia mendirikan markas kecil di pesisir Laut Merah, tepat di jalur dagang Quraisy.

Di sanalah ia membangun gerakan perlawanan ekonomi. Para pelarian lain bergabung, termasuk Abu Jandal bin Suhail. Bersama, mereka menyerang kafilah Quraisy yang lewat, merampas barang dagangan, dan memutus jalur ekonomi Makkah–Syam.

Akhirnya, Quraisy tak tahan. Mereka meminta Rasulullah ï·º menerima para pelarian, dan mencabut pasal yang mereka buat sendiri. Abu Bashir menang tanpa menandatangani apa pun.



Laut Merah Hari Ini: Rudal dan Ekonomi Zionis

Sejarah seperti mengulang dirinya—bukan dalam bentuk, tapi dalam strategi. Ketika Israel menggempur Gaza, dan dunia Arab bungkam oleh normalisasi, muncul serangan dari arah yang tak terduga: Ansharullah di Yaman.

Kelompok ini tidak duduk di meja PBB. Mereka tidak hadir di KTT normalisasi. Tapi rudal dan drone mereka menutup jalur pelayaran Laut Merah, menarget kapal dagang yang terkait Israel dan sekutu Barat.

Akibatnya:

Kapal-kapal besar menghindari Terusan Suez dan berlayar jauh ke Tanjung Harapan.

Biaya logistik naik drastis.

Ekspor-impor Israel terganggu.

Sektor pariwisata Israel mati suri.

Kepercayaan investor ambruk.


Dan seperti Quraisy dulu, pakar-pakar Israel mulai menganjurkan gencatan senjata—bukan karena belas kasih, tapi karena perhitungan ekonomi.



Seperti Quraisy, Pakar Israel Mulai Memohon Gencatan

Sejumlah analis militer dan ekonom Israel kini mendesak pemerintah Netanyahu untuk menghentikan perang di Gaza. Mereka tidak bicara moral, tapi realitas:

“Jika Gaza tidak dihentikan, Laut Merah akan terus terbakar. Kita tidak bisa membiayai dua front perang sekaligus.”

Ini persis seperti Quraisy yang akhirnya meminta Nabi ï·º untuk menerima para pelarian dan menghentikan gangguan terhadap jalur dagang. Mereka mencabut pasal bukan karena kalah perang, tapi karena kalah dalam ekonomi.



Abu Bashir, Rudal, dan Jalan Sunyi Perlawanan

Abu Bashir dulu bukan bagian dari perjanjian, tapi ia mengubah jalannya.

Ansharullah hari ini bukan bagian dari perundingan internasional, tapi mereka mengubah jalur ekonomi dan psikologis perang.

Dan pelajaran yang diwariskan oleh sejarah adalah ini:

“Jika jalur damai dikunci dengan ketimpangan, maka perlawanan akan mencari celahnya. Dan kadang, celah itu datang dari yang paling sunyi.”

Reposisi Diplomasi Arab Saudi Terhadap Penjajah Israel dan Amerika Demi Palestina? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Selama puluhan tah...

Reposisi Diplomasi Arab Saudi Terhadap Penjajah Israel dan Amerika Demi Palestina?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Selama puluhan tahun, Arab Saudi dipandang sebagai pilar utama blok Amerika di Timur Tengah—penguasa ladang minyak, pembeli senjata terbesar AS, dan mitra dalam berbagai proyek stabilisasi kawasan. Namun sejak perang Gaza meletus pada 7 Oktober 2023, muncul pertanyaan mendalam:
Apakah Arab Saudi masih sekutu setia Amerika dan diam terhadap penjajahan Israel?
Ataukah kini mereka sedang mengubah haluan, melakukan reposisi, dan mengambil sikap berbeda demi Palestina?

Dari diplomasi yang lebih berani hingga manuver geopolitik baru, Riyadh tampaknya sedang mempelajari ulang seni perlawanan dalam bingkai diplomasi. Perubahan ini belum tentu revolusioner, tapi bisa jadi fondasi transformasi besar dunia Arab di abad ke-21.



1. Menahan Normalisasi: Diplomasi Demi Gaza, Bukan Sekadar Simbolik

Amerika terus menggoda Arab Saudi untuk menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel, mengikuti jejak UEA, Bahrain, dan Maroko di bawah payung Abraham Accords. Namun Arab Saudi tetap tegas:

“Tidak ada normalisasi tanpa kemerdekaan Palestina.”

Pernyataan ini bukan basa-basi. Riyadh menunda sejumlah kesepakatan strategis besar dengan Washington, termasuk aliansi keamanan dan kerja sama nuklir sipil, sebagai bentuk ketegasan atas isu Palestina. Diplomasi Saudi menunjukkan bahwa mereka tak ingin terseret ke dalam perdamaian palsu yang mengabaikan keadilan.



2. Investasi Strategis: Bukan Penyerahan, Tapi Alat Tawar

Saudi masih membeli senjata dari AS, tetapi kini dengan logika baru. Transaksi militer diperlakukan sebagai alat tawar, bukan bentuk ketergantungan.

Lebih dari itu, Riyadh memperluas sayapnya:

Bergabung dengan BRICS, menantang dominasi dolar dan G7

Menguatkan hubungan dagang dan teknologi dengan China

Menjalin komunikasi militer diam-diam dengan Rusia

Mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dolar dalam perdagangan regional

Pergeseran ini bukan saja bersifat teknokratis, melainkan mencerminkan perlawanan terhadap arsitektur geopolitik lama yang dibentuk AS dan sekutunya, termasuk Israel.



3. Rekonsiliasi Timur Tengah: Meretas Blokade Lama, Menyatukan Poros Baru

Langkah paling mencolok adalah pembukaan pintu kerja sama dengan tiga negara yang selama ini menjadi “musuh tradisional” Saudi—dan juga musuh Israel: Iran, Suriah, dan Turki.

Dengan Iran, Saudi menandatangani kesepakatan damai bersejarah yang ditengahi China. Ini membuka komunikasi langsung Riyadh–Teheran, termasuk dalam isu Palestina.

Dengan Suriah, mereka mendukung kembalinya Damaskus ke Liga Arab dan mengecam keras serangan Israel ke konsulat Iran—sikap yang sangat berbeda dari masa lalu.

Dengan Turki, ketegangan pasca pembunuhan Jamal Khashoggi diredam. Kini, kedua negara menyuarakan sikap bersama dalam membela Gaza.

Manuver ini menunjukkan bahwa Arab Saudi tidak lagi mengikuti skenario geopolitik buatan Amerika dan Israel, melainkan merintis poros baru dunia Islam.



4. Gaza: Ujian Nyata dan Titik Balik Diplomatik

Perang Gaza menjadi cermin dan ujian. Arab Saudi tidak hanya mengutuk secara retoris, tetapi:

Menolak skema pemindahan paksa warga Gaza ke Sinai

Mengorganisir KTT Islam yang menghasilkan kecaman kolektif terhadap Israel

Mendorong gencatan senjata melalui Dewan Keamanan PBB

Menyalurkan bantuan kemanusiaan.

Lebih dari itu, Saudi menyuarakan bahwa solusi dua negara hanyalah titik awal. Mereka menyerukan kemerdekaan penuh Palestina sebagai tujuan akhir yang harus diperjuangkan di panggung global.



5. Diplomasi sebagai Medan Jihad Modern

Sejarah Palestina bukan hanya tentang senapan dan batu, tapi juga tentang diplomasi yang teguh. Dalam konteks ini, Arab Saudi sedang menghidupkan kembali watak perlawanan—bukan dengan senjata, tetapi melalui strategi jangka panjang yang berakar pada harga diri Islam.

“Diplomasi bukan sekadar basa-basi di meja perundingan. Ia adalah seni menolak tunduk di saat semua orang diam.”

Riyadh tampaknya tengah menapaki jalan baru: berdaulat secara diplomatik, bermartabat secara moral, dan bersuara untuk Palestina.

Menuju Peta Baru Dunia Islam?

Hari ini, Arab Saudi berada di tengah pusaran:

Di satu sisi, masih menjaga kepentingan ekonomi dan militer dengan Amerika

Di sisi lain, membangun koneksi ke China, Rusia, Iran, Suriah, dan Turki

Di tengahnya, mempertegas identitas politik Islam yang mendukung Palestina

Reposisi ini belum final. Tapi bila terus berlanjut, ia bisa menjadi titik balik dunia Arab dari sekadar objek diplomasi global menjadi subjek sejarah yang menentukan.



Kesimpulan:

Reposisi Arab Saudi bukan sekadar permainan taktis untuk menenangkan opini publik Muslim, melainkan refleksi dari kesadaran baru: bahwa kehormatan politik dan keberpihakan pada Palestina adalah ujian kedaulatan sejati. Jika Saudi konsisten melangkah di jalan ini, maka babak baru perlawanan terhadap penjajahan—dengan strategi, bukan sekadar senjata—akan benar-benar dimulai.

Dan Palestina, akhirnya, bukan lagi sekadar isu, tapi identitas.

Inovasi Praktis di Era Rasulullah ï·º Oleh: Nasrulloh Baksolahar  “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang, jika bekerja, ia menye...

Inovasi Praktis di Era Rasulullah ï·º

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



 “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang, jika bekerja, ia menyempurnakannya.”
— Hadis Nabi ï·º

Dalam benak banyak orang, teknologi adalah produk zaman modern: mesin, satelit, AI, robotik. Tapi di balik segala kecanggihan itu, ruh teknologi sesungguhnya adalah ikhtiar manusia untuk mempermudah hidup dan memperkuat maslahat—dan ini adalah prinsip yang hidup sejak masa kenabian.

Rasulullah ï·º bukan hanya pembawa wahyu, tapi juga pemimpin masyarakat yang mendorong peradaban tumbuh—termasuk dalam hal teknologi praktis, inovasi sosial, dan adaptasi alat. Ia tidak hanya mengajarkan iman, tapi juga membimbing umatnya menggunakan akal dan keterampilan.



1. Teknologi Pertanian dan Irigasi: Memelihara Hidup

Di Madinah, Rasulullah ï·º melihat pertanian sebagai pilar ekonomi masyarakat. Beliau mendorong optimalisasi sistem irigasi, penanaman pohon kurma secara terencana, dan pemanfaatan lahan gersang.

Dalam hadits diriwayatkan:

“Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman, lalu hasilnya dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, kecuali itu menjadi sedekah baginya.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Rasulullah ï·º juga memperkenalkan prinsip distribusi air dengan adil—termasuk rotasi giliran dalam menggunakan sumur atau kanal irigasi—agar tidak terjadi dominasi oleh pemilik tanah besar.



2. Inovasi Militer dan Strategi Perang

Teknologi militer bukan hanya soal senjata, tapi juga soal strategi. Rasulullah ï·º sangat jeli dalam menggunakan alat, medan, dan kejutan dalam berbagai perang.

Contohnya:

Parit (Khandaq): Gagasan menggali parit pertahanan untuk menghadang pasukan Quraisy pada Perang Khandaq diambil dari saran Salman Al-Farisi, seorang sahabat dari Persia. Ini adalah transfer teknologi militer antarperadaban yang langsung diadaptasi dan dieksekusi dengan efektif.

Panah Api dan Tameng: Rasulullah ï·º tidak melarang penggunaan senjata yang “baru” pada zamannya. Pasukan Muslim mulai membuat tameng logam, ketapel besar, dan anak panah dengan ujung api saat mengepung benteng-benteng Yahudi di Khaibar.

Kavaleri dan Formasi Tempur: Rasulullah ï·º mengatur pasukan dalam formasi sesuai peran: pemanah, pasukan tombak, kavaleri, pengintai. Ini adalah pembagian fungsional berbasis efektivitas dan teknologi tempur yang dimiliki.



3. Alat Ukur, Dokumentasi, dan Komunikasi

Rasulullah ï·º memperkenalkan sistem dokumentasi dan komunikasi yang sangat maju untuk zamannya:

Dokumentasi Piagam Madinah: Dokumen sosial-politik ini menunjukkan adanya sistem pencatatan, notulensi, dan konsensus yang terukur dan sah. Ini bagian dari teknologi administrasi pemerintahan.

Sistem Perhitungan Warisan: Dalam pengelolaan warisan, zakat, dan perdagangan, Rasulullah ï·º menerapkan sistem hitung-menghitung yang presisi—termasuk pembagian 1/3, 1/4, 2/3, dan lain-lain. Ini mendorong kemajuan dalam ilmu hisab dan akuntansi sosial.

Utusan dan Surat Diplomatik: Rasulullah mengirim surat diplomatik ke raja-raja dunia (Romawi, Persia, Mesir) menggunakan stempel pribadi (khatam) di cincin beliau. Ini adalah bentuk autentikasi dokumen resmi.



4. Peralatan Kesehatan dan Gizi

Di medan perang, Rasulullah ï·º membangun pos medis dan menunjuk Rufaidah Al-Aslamiyyah sebagai kepala medis yang mengelola perawatan korban luka. Ini bukan hanya soal pengobatan tradisional, tapi juga manajemen logistik kesehatan.

Beliau juga menganjurkan makanan sehat yang fungsional:

Madu sebagai penyembuh

Kurma dan air sebagai dasar nutrisi

Habbatus sauda (jinten hitam) sebagai penguat imun


Ini semua menunjukkan pendekatan ilmiah dan preventif terhadap kesehatan masyarakat.



5. Teknologi Sosial: Konsep Waqaf dan Distribusi Zakat

Teknologi bukan hanya benda. Rasulullah ï·º juga menciptakan sistem sosial yang efisien dan berkelanjutan:

Waqaf sumur, tanah, dan kebun sebagai lembaga ekonomi abadi untuk masyarakat

Zakat dan baitul mal sebagai sistem redistribusi kekayaan secara terukur

Lembaga pasar tanpa riba dan penipuan (Pasar Madinah) sebagai alternatif dari sistem ekonomi eksploitatif



Akal Adalah Amanah

Teknologi dalam Islam bukan semata-mata hasil, tetapi niat dan manfaatnya. Rasulullah ï·º menegaskan bahwa:

“Engkau lebih mengetahui urusan duniamu.”
(HR. Muslim)

Beliau tidak memonopoli kebenaran duniawi, tapi membuka ruang bagi inovasi, kreativitas, dan eksperimen yang berlandaskan pada kemaslahatan umat.

Di zaman modern ini, kita seharusnya tidak hanya mewarisi doa Rasulullah, tapi juga semangatnya dalam menjadikan teknologi sebagai jalan ibadah.

Pilar Cinta di Tengah Perang: Rasulullah dan Keluarga Para Syuhada Oleh: Nasrulloh Baksolahar Syahid bukan hanya soal gugur di m...



Pilar Cinta di Tengah Perang: Rasulullah dan Keluarga Para Syuhada

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Syahid bukan hanya soal gugur di medan perang, tapi juga tentang siapa yang ditinggalkan, dan bagaimana umat memperlakukan mereka.

Di balik setiap bendera kemenangan di medan jihad, ada rumah yang sunyi, anak yang kehilangan ayah, dan istri yang menyimpan tangis dalam diam. Namun dalam masyarakat Islam yang dibangun Rasulullah ï·º, mereka bukan ditinggalkan. Mereka justru didekap dalam pelukan cinta, dijaga oleh negara, dan dimuliakan oleh umat.

Perang memang menuntut pengorbanan. Tapi Rasulullah ï·º mengajarkan bahwa pengorbanan itu harus dibalas dengan penghormatan, perlindungan, dan jaminan hidup yang layak bagi keluarga mereka yang gugur di jalan Allah.



1. Negara Kasih Sayang: Perlindungan Total untuk Keluarga Syuhada

Salah satu teladan paling mengharukan adalah ketika Ja’far bin Abi Thalib gugur dalam Perang Mu’tah. Saat kabar itu sampai di Madinah, Rasulullah ï·º datang ke rumah Ja’far, memeluk anak-anaknya yang masih kecil, dan menangis bersama mereka. Lalu beliau berkata kepada para sahabat:

> “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka apa yang menyibukkan mereka.”
(HR. Abu Dawud)

Dalam tradisi modern, ini adalah state care, sebuah bentuk perlindungan negara bagi warga yang kehilangan kepala keluarga. Tapi Rasulullah ï·º melakukannya bukan karena tekanan hukum, melainkan karena cinta dan tanggung jawab sosial.



2. Anak Yatim Dipeluk, Bukan Diabaikan

Rasulullah ï·º tak hanya menitipkan bantuan, tapi juga merangkul anak-anak para syuhada secara langsung. Anak-anak Ja’far bin Abi Thalib, termasuk Abdullah bin Ja’far, dirawat dengan penuh kasih. Mereka tak tumbuh sebagai yatim piatu, tapi sebagai bagian dari keluarga besar Rasulullah.

Anak yatim bukan dianggap beban, melainkan amanah. Rasulullah ï·º bersabda:

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim akan bersama-sama di surga, seperti ini.”
(Beliau mengisyaratkan dengan dua jari yang dirapatkan.)



3. Dari Trauma Jadi Kehormatan: Mengubah Narasi

Dalam masyarakat Rasulullah, keluarga syuhada tidak dipandang dengan belas kasihan, tetapi dengan kemuliaan. Anak-anak syuhada dibesarkan dalam suasana yang menghormati ayah atau ibunya yang telah gugur. Mereka bukan korban, tapi penerus perjuangan.

Syahid bukan luka dalam sejarah keluarga, tapi lencana kemuliaan yang diwariskan turun-temurun. Di masyarakat Madinah, menyandang status sebagai keluarga syuhada justru mendatangkan penghormatan sosial yang tinggi.



4. Jaminan Ekonomi dan Warisan yang Terlindungi

Bukan hanya secara emosional, Rasulullah ï·º juga melindungi mereka secara ekonomi. Harta ghanimah (rampasan perang), zakat, dan sedekah diarahkan kepada para yatim dan janda dengan sangat hati-hati. Dalam Perang Uhud, ketika Sa’ad bin Rabi’ gugur, Rasulullah ï·º langsung mengutus sahabat untuk mengurus hak-hak istri dan anak-anaknya.

Tidak ada anak syuhada yang dibiarkan kelaparan. Tidak ada janda syuhada yang terabaikan. Rasulullah ï·º membangun sistem di mana masyarakat menanggung tanggung jawab itu bersama.



5. Kepedulian yang Tidak Pernah Usai

Kepedulian Rasulullah ï·º terhadap keluarga syuhada bukan peristiwa sesaat. Bertahun-tahun setelah perang berlalu, beliau tetap mengunjungi rumah-rumah mereka, menanyakan kabar anak-anak mereka, dan memberi bantuan saat diperlukan.

Ini bukan sekadar kebijakan negara. Ini adalah perwujudan spiritual dari ayat:

“Dan janganlah kamu menyangka bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki.”
(QS Ali Imran: 169)

Jika syuhada hidup di sisi Tuhan, maka keluarganya hidup dalam perlindungan umat.



Negara dan Cinta yang Berjalan Bersama

Negara yang dibangun Rasulullah ï·º bukan hanya memuliakan para pejuang di medan perang, tetapi juga menjaga keluarga mereka yang ditinggalkan. Rasulullah menunjukkan bahwa jihad bukan sekadar keberanian di garis depan, tetapi juga tanggung jawab sosial setelah perang usai.

Di tengah dunia yang sering melupakan keluarga para pejuang, Rasulullah mengajarkan kita: jihad yang benar adalah jihad yang menyisakan kasih sayang bagi yang ditinggalkan.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (504) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (247) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)