Abu Bashir, Ansharullah dan Perlawanan dari Pinggiran
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dalam sejarah Islam, tak semua tokoh besar dikenal karena berada di panggung utama. Ada yang hadir dari pinggiran, namun getarannya menjungkirbalikkan sistem yang mapan. Abu Bashir al-‘Utqi adalah salah satunya. Ia bukan panglima, bukan penandatangan perjanjian Hudaibiyah. Tapi perlawanan kecilnya mengubah isi pasal dan membuat Quraisy menyerah tanpa perang.
Kini, lebih dari 1.400 tahun setelahnya, semangat Abu Bashir tampaknya hidup kembali, kali ini di pegunungan Yaman, dalam rupa rudal dan drone Ansharullah yang mengguncang jalur ekonomi Laut Merah. Dan sejarah, sekali lagi, bicara dengan nada yang sama: jika keadilan ditahan oleh teks perjanjian, maka perlawanan akan lahir dari luar teks itu sendiri.
Hudaibiyah dan Perlawanan Abu Bashir
Perjanjian Hudaibiyah yang ditandatangani antara Rasulullah ï·º dan Quraisy pada tahun ke-6 Hijriyah menyepakati beberapa hal: di antaranya, siapa pun dari Makkah yang melarikan diri ke Madinah harus dikembalikan, sedangkan yang lari dari Madinah ke Quraisy tidak boleh ditahan. Pasal ini terasa timpang, namun diterima Rasulullah ï·º demi membuka peluang dakwah jangka panjang.
Tak lama, datanglah Abu Bashir, seorang Muslim yang disiksa oleh Quraisy, meminta perlindungan ke Madinah. Namun karena terikat perjanjian, Rasulullah ï·º berkata:
“Wahai Abu Bashir, kita telah terikat janji. Aku tak bisa menolongmu. Tapi yakinlah, Allah akan membukakan jalan.”
Abu Bashir dikembalikan. Tapi dalam perjalanan pulang, ia membunuh salah satu pengawal Quraisy dan melarikan diri. Ia tidak kembali ke Madinah, karena itu akan melanggar pasal. Sebaliknya, ia mendirikan markas kecil di pesisir Laut Merah, tepat di jalur dagang Quraisy.
Di sanalah ia membangun gerakan perlawanan ekonomi. Para pelarian lain bergabung, termasuk Abu Jandal bin Suhail. Bersama, mereka menyerang kafilah Quraisy yang lewat, merampas barang dagangan, dan memutus jalur ekonomi Makkah–Syam.
Akhirnya, Quraisy tak tahan. Mereka meminta Rasulullah ï·º menerima para pelarian, dan mencabut pasal yang mereka buat sendiri. Abu Bashir menang tanpa menandatangani apa pun.
Laut Merah Hari Ini: Rudal dan Ekonomi Zionis
Sejarah seperti mengulang dirinya—bukan dalam bentuk, tapi dalam strategi. Ketika Israel menggempur Gaza, dan dunia Arab bungkam oleh normalisasi, muncul serangan dari arah yang tak terduga: Ansharullah di Yaman.
Kelompok ini tidak duduk di meja PBB. Mereka tidak hadir di KTT normalisasi. Tapi rudal dan drone mereka menutup jalur pelayaran Laut Merah, menarget kapal dagang yang terkait Israel dan sekutu Barat.
Akibatnya:
Kapal-kapal besar menghindari Terusan Suez dan berlayar jauh ke Tanjung Harapan.
Biaya logistik naik drastis.
Ekspor-impor Israel terganggu.
Sektor pariwisata Israel mati suri.
Kepercayaan investor ambruk.
Dan seperti Quraisy dulu, pakar-pakar Israel mulai menganjurkan gencatan senjata—bukan karena belas kasih, tapi karena perhitungan ekonomi.
Seperti Quraisy, Pakar Israel Mulai Memohon Gencatan
Sejumlah analis militer dan ekonom Israel kini mendesak pemerintah Netanyahu untuk menghentikan perang di Gaza. Mereka tidak bicara moral, tapi realitas:
“Jika Gaza tidak dihentikan, Laut Merah akan terus terbakar. Kita tidak bisa membiayai dua front perang sekaligus.”
Ini persis seperti Quraisy yang akhirnya meminta Nabi ï·º untuk menerima para pelarian dan menghentikan gangguan terhadap jalur dagang. Mereka mencabut pasal bukan karena kalah perang, tapi karena kalah dalam ekonomi.
Abu Bashir, Rudal, dan Jalan Sunyi Perlawanan
Abu Bashir dulu bukan bagian dari perjanjian, tapi ia mengubah jalannya.
Ansharullah hari ini bukan bagian dari perundingan internasional, tapi mereka mengubah jalur ekonomi dan psikologis perang.
Dan pelajaran yang diwariskan oleh sejarah adalah ini:
“Jika jalur damai dikunci dengan ketimpangan, maka perlawanan akan mencari celahnya. Dan kadang, celah itu datang dari yang paling sunyi.”
0 komentar: