Ketika Negara Arab Melesat, Israel Terseret oleh Perangnya Sendiri
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Sejak 7 Oktober 2023, peta politik dan ekonomi Timur Tengah mengalami pergeseran yang mengejutkan. Saat Israel terjebak dalam konflik yang makin meluas—di Gaza, perbatasan Lebanon, Laut Merah, dan bahkan dalam negeri sendiri—negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar justru mencatat lonjakan investasi, kemajuan teknologi, dan konsolidasi diplomatik yang stabil.
Ironi ini semakin mencolok: negara yang mengandalkan kekuatan militer, kini mulai kalah dalam perlombaan teknologi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sementara itu, tetangganya yang dulu dianggap tertinggal, justru mulai memimpin narasi pembangunan masa depan Timur Tengah.
Investasi Mengalir ke Teluk, Menjauh dari Israel
Salah satu indikator paling mencolok adalah aliran dana investasi asing langsung (FDI). Sepanjang 2023:
Arab Saudi berhasil menarik lebih dari $30 miliar FDI, berkat proyek ambisius NEOM dan program Vision 2030 yang membuka berbagai sektor non-migas.
UEA mencatat $23 miliar FDI, didorong oleh regulasi bisnis yang ramah investor dan posisi strategis Dubai sebagai pusat perdagangan global.
Qatar, meskipun berukuran kecil, tetap mampu meraup sekitar $6–7 miliar FDI, terutama pasca kesuksesan Piala Dunia dan penguatan sektor teknologi.
Di sisi lain, arus investasi ke Israel justru anjlok. Menurut laporan Bloomberg dan sumber ekonomi dalam negeri, FDI Israel turun lebih dari 60% pada kuartal pertama 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Bank Mizrahi Tefahot, salah satu lembaga keuangan terbesar Israel, bahkan memperingatkan bahwa negara itu kini berada pada “titik paling berbahaya sejak berdirinya” akibat eksodus investor dan ketidakstabilan politik berkepanjangan.
Kekhawatiran dari Dalam Negeri Israel Sendiri
Sejumlah tokoh penting Israel mulai angkat bicara. Prof. Aaron Ciechanover, pemenang Nobel dan tokoh akademik terkemuka, menyebut adanya fenomena “silent departure”—yaitu keluarnya para elite teknologi dan intelektual dari Israel akibat perang dan fragmentasi internal.
Prof. Eugene Kandel, mantan kepala Dewan Ekonomi Nasional Israel, bahkan menyebut fenomena ini sebagai ancaman eksistensial, bukan sekadar tantangan teknis. Bagi Kandel, hilangnya kepercayaan investor dan tenaga profesional akan menghantam jantung kekuatan inovatif Israel dalam jangka panjang.
Israel Kehilangan Momentum Teknologi
Israel selama ini dikenal sebagai “Start-Up Nation.” Namun sejak perang berkecamuk dan tensi politik meningkat, ekosistem teknologi Israel mulai stagnan:
Menurut Yariv Kesner, seorang investor teknologi, dukungan negara terhadap sektor AI dan semikonduktor kini tertinggal dibandingkan Arab Saudi dan UEA.
Amir Mizroch, analis teknologi Israel, menyatakan bahwa negara-negara Teluk telah melampaui Israel dalam skala infrastruktur digital, energi bersih, dan pusat data.
Kontrasnya tajam. UEA membangun universitas AI pertama di dunia. Arab Saudi mengalokasikan $40 miliar untuk pengembangan AI dan robotika. Qatar memperluas proyek Smart Nation dengan dukungan global. Sementara itu, di Israel, sebagian besar tenaga profesional teknologi malah kembali ke barak militer—menjadi tentara cadangan.
Negara Arab Menang Karena Stabilitas
Kunci kemajuan negara-negara Teluk bukan hanya uang, tapi stabilitas dan visi jangka panjang. Arab Saudi, UEA, dan Qatar kini menawarkan kepada dunia:
Kepastian hukum dan politik.
Arah pembangunan nasional yang jelas.
Infrastruktur teknologi modern.
Kekuatan diplomasi yang tumbuh, bukan terjebak dalam konflik.
Sebaliknya, Israel menghadapi polarisasi internal, reformasi yudisial yang memicu krisis konstitusi, serta tekanan ekonomi akibat perang yang tak kunjung usai.
Bangun atau Terus Berperang?
Israel mungkin masih menang dalam hal serangan militer dan kekuatan intelijen. Tapi perang bukan satu-satunya medan kontestasi abad ini. Yang menentukan masa depan adalah inovasi, kestabilan, dan kemampuan beradaptasi terhadap arus global.
Sementara negara-negara Arab belajar dan bergerak menuju era pascaminyak, Israel justru terjebak dalam siklus militerisasi dan ketegangan internal.
Sebuah bangsa tidak akan bisa membangun masa depan, jika setiap hari waktunya habis untuk berperang di masa kini.
Penutup
Apa yang terjadi hari ini adalah pergeseran halus tapi dalam: Israel mulai kehilangan daya tariknya sebagai pusat inovasi dan stabilitas, sementara negara-negara Arab mulai mengambil posisi sebagai pemimpin pembangunan Timur Tengah.
Kemenangan bukan hanya soal peluru, tapi juga soal rencana.
Dan hari ini, rencana-rencana besar itu sedang digambar di Riyadh, Doha, dan Abu Dhabi—bukan di Tel Aviv.
0 komentar: