Israel di Jalur Suriah? Ketika Rezim Sibuk Berkuasa, Negara Perlahan Hancur
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di awal dekade 2010-an, Presiden Bashar al-Assad menghadapi gelombang protes rakyat dan pemberontakan bersenjata. Alih-alih berdialog dan membangun rekonsiliasi nasional, Assad memilih jalur represi brutal. Ia membuka front perang melawan rakyatnya sendiri, dan mengundang kekuatan asing—Rusia dan Iran—untuk mempertahankan kekuasaannya.
Hasilnya?
Suriah bukan hanya kehilangan oposisi, tapi kehilangan negara.
Hampir dua pertiga wilayah Suriah hancur. Infrastruktur luluh lantak. Ekonomi kolaps. Separuh warganya menjadi pengungsi. Yang bertahan adalah rezim, tapi yang runtuh adalah tanah airnya.
Netanyahu di Titik yang Sama?
Hari ini, dunia melihat Benjamin Netanyahu membuka begitu banyak front perang:
Di Gaza, operasi militer yang tak berujung, dengan kehancuran luar biasa.
Di Lebanon, ketegangan yang mengancam perang terbuka dengan Hizbullah.
Di Yaman, serangan drone dan rudal dari Ansharullah mengguncang jalur logistik.
Di Iran, konfrontasi terbuka melalui serangan ke konsulat dan ilmuwan.
Seolah belum cukup, Netanyahu juga menghadapi konflik internal:
Krisis konstitusi akibat reformasi yudisial.
Demonstrasi massal selama berbulan-bulan.
Polarisasi tajam antara kelompok sekuler dan ultra-ortodoks.
Penolakan sebagian elite militer terhadap kebijakan kabinet sayap kanan ekstrem.
Lalu, siapa yang kini diminta Netanyahu untuk menjaga kekuasaannya? Amerika Serikat.
Washington dikirim untuk mengawal kapal dagang Israel di Laut Merah. Armada militer AS ditempatkan di sekeliling Timur Tengah. Bahkan, miliaran dolar bantuan militer terus dikucurkan—bukan untuk membangun masa depan, tapi untuk menambal kekacauan hari ini.
Kekuasaan Bisa Bertahan, Tapi Negara Bisa Runtuh
Bashar al-Assad tetap bertahan di istananya di Damaskus. Tapi apa yang dipimpinnya?
Negara yang terfragmentasi.
Ekonomi yang bergantung pada bantuan Iran dan Rusia.
Warga yang tercerai-berai antara pengungsi, korban perang, dan oposisi yang terkubur.
Apakah Israel akan sampai ke titik itu?
Tanda-tandanya mulai terlihat:
Investor pergi.
Talenta teknologi hengkang.
Pariwisata mati.
Perdagangan terguncang.
Dunia mengecam.
Netanyahu mungkin sedang memenangkan pertempuran politik dalam negerinya. Tapi ia mulai kehilangan “negara” sebagai proyek bersama.
Rezim yang Memenangkan Kekuasaan, Tapi Mengorbankan Bangsa
Pertanyaan besarnya: untuk siapa semua ini diperjuangkan?
Rakyat Israel? Banyak yang ingin gencatan senjata.
Militer? Banyak yang frustasi dengan tujuan yang kabur.
Negara Yahudi? Dunia mulai mempertanyakan moralitas eksistensinya.
Jangan sampai, seperti Suriah, Israel hanya akan menjadi cangkang kosong dari “negara”—yang dipertahankan demi sekelompok elite, dengan biaya kehancuran nasional.
Seharusnya Mencontoh Mandela, Bukan Assad
Alih-alih mempertahankan kekuasaan dengan jalan kekerasan, Israel seharusnya belajar dari Nelson Mandela.
Mandela bukan hanya melawan apartheid, tetapi mengubah rasa dendam menjadi rekonsiliasi. Ia tidak mengandalkan kekuatan senjata, tetapi moralitas dan keadilan yang menyatukan bangsa. Ia tak takut kehilangan kekuasaan, karena yang ia perjuangkan bukan sekadar rezim, tapi masa depan bersama.
Bayangkan jika Israel memilih jalan Mandela—menerima hak Palestina, mengakui kesalahan sejarah, dan membangun perdamaian sejati. Bukan hanya dunia akan memandang hormat, tapi negara itu akan selamat dari kehancuran yang disebabkan oleh perang abadi.
Namun pertanyaan besarnya adalah:
Dengan karakter Zionisme yang eksklusif, supremasis, dan trauma masa lalu yang belum selesai—mungkinkah Israel benar-benar mengambil jalan Mandela?
Zionisme bukan sekadar proyek negara, tapi ideologi yang dibangun atas ketakutan akan punah dan keyakinan akan keistimewaan etnis. Ia meletakkan identitas negara bukan pada keadilan universal, tapi pada dominasi dan pengecualian.
Jika Mandela memilih untuk mengampuni lawan-lawan kulit putihnya, Zionisme justru hidup dari ketakutan terhadap "yang lain"—terutama jika ia Muslim dan Arab.
Inilah paradoks eksistensial Israel hari ini:
Untuk bertahan sebagai negara demokratis dan dihormati, ia harus membongkar watak dasar Zionisme.
Tapi jika watak itu dibongkar, Israel bukan lagi Israel seperti yang didefinisikan oleh para pendirinya.
Penutup
Rezim Assad bertahan, tapi Suriah hancur.
Jika Netanyahu tidak berhenti membakar, Israel mungkin menyusul.
Negara yang sibuk memerangi semua musuhnya, akan lupa membangun dirinya.
Dan pada akhirnya, yang kalah bukan hanya yang di luar pagar—tapi juga yang memegang kendali di dalam.
Sebuah bangsa bisa bangkit dari luka sejarah, tapi tidak dari kesombongan yang menolak perdamaian.
0 komentar: