basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Musang di Dalam Kandang: Rasulullah ï·º dan Kecerdasan Kontra Intelijen Umat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam sejarah umat Islam, ...

Musang di Dalam Kandang: Rasulullah ï·º dan Kecerdasan Kontra Intelijen Umat


Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam sejarah umat Islam, musuh dari luar memang menakutkan. Tapi musuh dari dalam? Mereka lebih mematikan. Mereka ikut salat, ikut perang, ikut dalam barisan Nabi ï·º, tapi diam-diam mengasah belati di balik sorban. Mereka bukan sekadar mata-mata; mereka adalah racun yang disusupkan ke dalam darah perjuangan.

Namun justru di titik paling gelap itu, kecemerlangan strategi Rasulullah ï·º bersinar. Beliau tidak hanya membentuk pasukan yang kuat, tetapi juga komunitas yang tahan infiltrasi, masyarakat yang memiliki daya imunitas ideologis dan sosial, serta sistem kewaspadaan moral yang hidup dari dalam. Inilah kisahnya.



Aqabah: Kudeta Gagal yang Ditelan Malam

Perjalanan pulang dari Tabuk seharusnya menjadi kemenangan moral. Tapi di tengah sunyi malam, saat Nabi ï·º memilih jalan terjal bernama Aqabah, 12 orang munafik dengan wajah tertutup menyusup, mengincar nyawa beliau.

Mereka merencanakan sebuah "kecelakaan": menakut-nakuti unta Nabi agar terjatuh ke jurang. Tapi mereka tak tahu, Rasulullah ï·º tak pernah sendirian. Hudzaifah bin Al-Yaman dan Ammar bin Yasir ada di sana — dua sahabat yang tak hanya menjaga tubuh Nabi, tapi juga menjaga detak nadi peradaban.

Dengan pedang dan keberanian, para penyusup dihalau. Nabi ï·º tidak bereaksi keras, tidak gegabah mengeksekusi mereka. Nama-nama mereka diserahkan diam-diam kepada Hudzaifah. Maka Hudzaifah pun dikenal sepanjang zaman sebagai: Shahibu Sirri Rasulillah ï·º — sang pemegang rahasia Nabi.

Mengapa Nabi ï·º tidak mengumumkan mereka? Karena pemimpin sejati tidak memimpin dengan amarah, tapi dengan visi. Bukan sekadar ingin menyingkirkan pengkhianat, tapi ingin menjaga umat agar tidak terbelah karena fitnah. Rasulullah ï·º tahu: ada waktu untuk membongkar, ada waktu untuk membiarkan sejarah yang menyingkapkan.



Bani Musthaliq: Satu Kalimat yang Hampir Memecah Umat

Setelah Perang Bani Musthaliq, saat pasukan sedang dalam perjalanan pulang, pertengkaran kecil antara seorang Muhajirin dan Anshar dimanfaatkan oleh Abdullah bin Ubay, tokoh utama kaum munafik.

Ia berkata lantang:

“Jika kita kembali ke Madinah, yang mulia (yakni dirinya) akan mengusir yang hina (yakni Rasulullah)!”

Ini bukan sekadar penghinaan, ini adalah retorika kudeta politik. Dan Umar pun naik pitam. “Izinkan aku memenggal kepalanya, ya Rasulullah!” Tapi Rasulullah ï·º menolak.

“Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”

Di sinilah kejeniusan kenabian tampil. Rasulullah tidak memberi musuh amunisi opini. Beliau biarkan waktu dan peristiwa menghakimi. Dan betul — tak lama setelah itu, putra Abdullah bin Ubay sendiri, yang bernama Abdullah, menghadang ayahnya di pintu Madinah dan berkata:

“Engkau tak boleh masuk sebelum Rasulullah mengizinkan.”

Kita belajar: Rasulullah tidak perlu membungkam para penyusup dengan pedang, cukup dengan membuka mata masyarakat agar mereka tersingkir oleh keadilan sosial.



Masjid Dhirar: Di Balik Kubah, Ada Konspirasi

Kaum munafik bahkan sempat membangun masjid. Masjid Dhirar — dibangun bukan untuk shalat, tapi untuk makar. Mereka ingin menjadikannya pusat propaganda anti-Rasulullah ï·º.

Namun Allah membongkar tipu daya itu:

“Dan (ada pula) orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan, kekafiran, dan memecah belah orang-orang mukmin…”
(QS. At-Taubah: 107)

Rasulullah ï·º pun tak ragu: beliau perintahkan masjid itu dihancurkan.

Ya, jika masjid berubah menjadi ruang konspirasi, maka menghancurkannya adalah jihad. Islam bukan soal simbol, tapi soal substansi. Dan substansi Islam adalah kebenaran, bukan kedok untuk kebusukan.



Hatib bin Abi Balta’ah: Surat Rahasia yang Dimaafkan

Sebelum Fathul Makkah, seorang sahabat bernama Hatib bin Abi Balta’ah mengirim surat rahasia kepada Quraisy, memberitahukan rencana Nabi. Sebuah pelanggaran serius. Namun saat ia dipanggil dan diinterogasi, Hatib berkata:

“Aku tidak berkhianat karena benci Islam, tapi karena ingin melindungi keluargaku yang tak berdaya di Makkah.”

Ali pun siap mengayunkan pedang. Tapi Nabi ï·º bersabda:

“Dia ikut perang Badar. Siapa tahu Allah telah mengampuni seluruh pejuang Badar.”

Pelajaran penting: tidak semua penyusup adalah musuh. Sebagian adalah orang lemah yang salah jalan. Rasulullah ï·º memisahkan antara pengkhianat dan yang sedang diuji imannya. Beliau adil, bukan brutal.



Strategi Rasulullah ï·º: Mendeteksi, Menyaring, Bukan Membabi Buta

Rasulullah ï·º tahu bahwa pasukan tidak hanya butuh pedang, tapi juga imunitas sosial dan spiritual. Beliau membiarkan medan tempur, musim panas, dan jarak perjalanan sebagai alat penyaring. Tabuk adalah contohnya. Mereka yang malas, ragu, atau punya niat busuk — gugur sendiri sebelum panah dilepaskan.

Dan mereka yang tetap ikut perang walau kelelahan, walau miskin — mereka itulah yang disebut dalam Al-Qur’an:

“Tidak ada dosa atas orang yang tidak ikut perang karena lemah atau miskin, selama mereka tulus kepada Allah dan Rasul-Nya...”
(QS. At-Taubah: 91)

Musuh sejati bukan di luar. Musuh sejati adalah ketidakjujuran dalam niat. Dan Rasulullah ï·º membongkarnya bukan dengan brutalitas, tapi dengan hikmah, observasi sosial, dan kontrol narasi.



Ketika Musuh di Dalam Lebih Bahaya dari yang di Luar

Rasulullah ï·º mengajarkan bahwa perang melawan penyusup bukan sekadar perang senjata, tapi perang akal dan nurani. Beliau membangun umat dengan kejujuran, memperkuat barisan dengan kesetiaan, dan menghadapi pengkhianat dengan strategi yang melampaui emosi.

“Umat ini tidak akan tumbang karena musuh dari luar, tapi akan luluh jika penyusup dari dalam dibiarkan tumbuh tanpa perlawanan.”

Kini, saat kita dikepung oleh infiltrasi media, fitnah digital, dan tokoh yang berpura-pura mencintai Islam — pelajaran dari Rasulullah ï·º menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Bangkitkan mata yang jernih. Hidupkan jiwa yang tajam. Dan jangan biarkan barisan suci ini dikoyak dari dalam.

Kepedihan Pengobar Semangat: Jika Rasulullah Gugur, Untuk Apa Kita Hidup? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam sejarah Islam, ada sa...

Kepedihan Pengobar Semangat: Jika Rasulullah Gugur, Untuk Apa Kita Hidup?



Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam sejarah Islam, ada saat-saat ketika kabar buruk justru melahirkan semangat paling dahsyat. Bukan karena para sahabat Rasulullah ï·º tidak berduka, tapi karena mereka tahu: bila kebenaran telah berdarah, maka tak ada lagi alasan untuk hidup dalam kemewahan, ketakutan, atau kompromi.

Di Perang Uhud, kabar gugurnya Nabi ï·º sempat tersebar. Di Perang Mu’tah, tiga panglima Islam benar-benar syahid satu per satu. Di Perang Hunain, pasukan Muslim tercerai-berai. Namun semua momen ini tidak membuat pasukan hancur—justru membangkitkan kekuatan spiritual yang lebih dalam: bahwa hidup hanya bermakna jika dilanjutkan untuk cita-cita yang telah diperjuangkan para syuhada.

Dan semangat ini tidak berhenti di abad ke-7. Hari ini, kita menyaksikan para pejuang Palestina terus bertempur meski istri, anak, orang tua, bahkan para komandan tertinggi mereka dibunuh satu per satu. Seolah mereka sedang berkata, seperti sahabat dahulu:

"Jika pemimpin kami gugur, maka biarlah kami menyambung jalan mereka dengan darah kami!"



Uhud: Ketika Kabar Syahid Rasulullah ï·º Menjadi Api Semangat

Saat pasukan Muslim hampir menang di Uhud, mereka lengah. Kemudian pasukan Quraisy menyerbu balik dari belakang bukit. Dalam kekacauan itu, Rasulullah ï·º terluka parah. Kabar tersebar: Muhammad telah gugur!

Namun inilah detik-detik lahirnya syahadat aksi para sahabat. Anas bin Nadhr, yang belum ikut Perang Badar, berkata dengan suara membakar:

"Wahai kaum Anshar! Jika Muhammad telah terbunuh, maka apa gunanya hidup sesudahnya? Bangkitlah! Mati sebagaimana ia mati!"
(HR. Muslim)

Dan Al-Qur’an mengabadikan semangat ini dalam bentuk peringatan ilahi:

"Dan Muhammad hanyalah seorang rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh, kamu akan berbalik ke belakang? Barang siapa yang berbalik, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun."
(QS. Ali Imran: 144)

Ini bukan sekadar ayat. Ini alarm iman. Bahwa perjuangan bukan untuk pribadi, tapi untuk risalah.



Mu’tah: Visualisasi Kematian yang Membakar Jiwa Kaum Beriman

Di medan perang Mu’tah, tiga panglima besar gugur berurutan: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Rasulullah ï·º tidak menyembunyikan tragedi ini. Di Madinah, beliau menyampaikan kejadian itu secara langsung:

"Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah dan ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib dan ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan ia terbunuh pula. Lalu panji itu diambil oleh pedang dari pedang-pedang Allah: Khalid bin al-Walid, dan Allah memberinya kemenangan."
(HR. Bukhari)

Bayangkan: Rasulullah ï·º menggambarkan satu demi satu sahabatnya gugur, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membakar semangat. Dan itu berhasil. Gugurnya tiga pemimpin besar tak menghentikan langkah, justru membentuk batu loncatan bagi kemenangan moral yang tak terlupakan.



Hunain: Pasukan Kocar-kacir, Tapi Alumni Badar Kembali Mengeras

Perang Hunain diawali dengan keunggulan jumlah. Namun jebakan lembah membuat pasukan Muslim porak-poranda. Rasulullah ï·º berdiri tegak, menyerukan:

"Aku adalah Nabi, tidak berdusta! Aku adalah anak Abdul Muthalib!"
(HR. Muslim)

Saat sebagian besar pasukan lari, yang bertahan adalah segelintir veteran Perang Badar. Mereka bukan pasukan elit secara fisik, tapi mereka punya kekuatan spiritual dan pengalaman darah. Mereka kembali membentuk barisan, dan seruan Rasul menjadi pusat gravitasi iman.

"Dan di hari Hunain, ketika jumlahmu yang banyak membuatmu bangga, namun itu tidak berguna sama sekali bagi kalian..."
(QS. At-Taubah: 25)

Allah mengingatkan: bukan jumlah, tapi keteguhan yang memberi kemenangan.



Gaza: Ketika Syahid Komandan dan Keluarga Menjadi Energi Perlawanan

Hari ini, kita menyaksikan ulang semangat itu. Saat Israel membunuh komandan-komandan Hamas, Jihad Islam, dan para tokoh perlawanan, semangat justru tidak padam. Ketika keluarga mereka dibantai—istri, anak, saudara—pejuang Palestina tidak meninggalkan medan. Mereka menatap kamera dan berkata:

"Kami mencintai syahid seperti musuh kami mencintai hidup."

Para pejuang itu tidak lahir dari pabrik militer, tapi dari reruntuhan rumah, dari jenazah ayah, dari tangisan adik. Mereka tidak butuh orasi panjang—cukup satu suara panggilan: "Ribath fi Sabilillah!"

Seorang anak pejuang Palestina yang kehilangan seluruh keluarganya berkata dalam wawancara:

"Jika ibu dan ayahku dibunuh karena mereka Muslim, maka biarlah aku meneruskan hidup mereka dengan senapan."

Ini adalah Mu’tah di abad ke-21. Ini adalah Uhud di bawah langit Rafah. Ini adalah Hunain yang tidak lagi memerlukan jumlah, tapi niat.



Mengapa Karakter Ini Bisa Lahir?

Karena tauhid bukan teori. Karena syahadat bukan sekadar dua kalimat. Ia adalah janji hidup dan mati. Rasulullah ï·º tidak membesarkan umat pengecut. Beliau menanamkan dalam dada para sahabat:

"Wahai manusia, janganlah kalian mengharap pertemuan dengan musuh, tapi jika kalian terpaksa bertemu, maka bersabarlah! Ketahuilah bahwa surga berada di bawah bayang-bayang pedang."
(HR. Bukhari)

Inilah kenapa mereka tidak gentar. Inilah kenapa Palestina tidak menyerah.



Jika Mereka Gugur, Mengapa Kita Diam?

Jika kabar syahid Rasulullah ï·º membakar semangat sahabat, jika kematian para panglima membuat barisan semakin padat, jika kehancuran di Hunain justru melahirkan kemenangan—maka apa alasan kita untuk tidak bergerak saat hari ini umat kembali berdarah?

Kita tak diminta berperang jika tak mampu. Tapi kita pasti diminta untuk tidak tinggal diam. Hati, doa, harta, dan suara—semuanya bisa jadi peluru.

Jangan hanya jadi penonton. Karena sejarah tidak menulis penonton. Sejarah hanya mencatat siapa yang bertahan di jalan Nabi, meski semua kabar di sekitarnya buruk.


"Jika Muhammad telah terbunuh, maka bangkitlah! Mati sebagaimana ia mati!"
— Anas bin Nadhr, Uhud

"Surga itu berada di bawah bayang-bayang pedang."
— HR. Bukhari

Perang Mu’tah, Video Hamas, Narasi IDF, dan Perang yang Tak Ingin Disaksikan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada 10 Juli 2025, Hamas...

Perang Mu’tah, Video Hamas, Narasi IDF, dan Perang yang Tak Ingin Disaksikan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pada 10 Juli 2025, Hamas merilis sebuah video pendek namun menggemparkan. Isinya: serangan terhadap pasukan Israel di Khan Younis, Gaza selatan, sehari sebelumnya. Video ini langsung menjadi sorotan karena memperlihatkan peristiwa yang berbeda dari narasi resmi Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Bahkan Times of Israel—media arus utama Israel—mengakui adanya kontradiksi signifikan antara rekaman Hamas dan pernyataan militer Israel.

IDF menyebut bahwa Sersan Mayor (Purn.) Abraham Azulay, operator ekskavator tak bersenjata, diserang tiba-tiba oleh militan Hamas yang muncul dari terowongan, sempat melawan, namun gugur secara heroik. Namun video Hamas memperlihatkan proses panjang dan terencana: para pejuang mengintai dari reruntuhan bangunan, menyusup perlahan, lalu menembakkan RPG ke arah ekskavator. Tak tampak adanya duel senjata atau perlawanan dari sang prajurit. Bahkan jasad Azulay terlihat tak berdaya sebelum dua pejuang Hamas menyita senjatanya dan menembaknya kembali.

Apakah video itu bukti kemenangan Hamas atau manipulasi visual? Apapun itu, ia telah mengguncang bangunan naratif yang selama ini disusun rapi oleh militer Israel.



Sensor, Narasi, dan Ketakutan akan Kebenaran

Pertanyaan lebih besar segera muncul: mengapa informasi tentang Gaza sangat dibatasi, bahkan bagi jurnalis Israel sendiri?

Sejak meletusnya perang pada 7 Oktober 2023, pemerintah Israel secara aktif menutup akses media ke Jalur Gaza. Jurnalis asing, media independen, bahkan reporter dalam negeri dibatasi geraknya. Narasi tunggal dari IDF mendominasi pemberitaan, sementara gambar-gambar kehancuran di Gaza hanya datang dari pihak ketiga: LSM, warga sipil, atau—ironisnya—Hamas itu sendiri.

Apakah sensor seperti ini baru terjadi? Ternyata tidak. Sejak lama, Israel memiliki kebijakan military censorship yang mengatur ketat publikasi berita terkait keamanan nasional. Namun sejak 2023, intensitasnya meningkat drastis. Prof. Orna Ben-Naftali, pakar hukum internasional dari Israel, menyebut fenomena ini sebagai “penyusutan ruang demokratis saat perang berlangsung.” Jurnalis kawakan Amira Hass bahkan menyebut Israel kini lebih takut pada kebenaran visual daripada pada rudal Hamas.

Yang lebih aneh, IDF sendiri hampir tidak pernah merilis dokumentasi video dari serangan mereka ke Gaza. Padahal, dalam perang modern, video adalah alat propaganda yang ampuh. Mengapa ini tidak dilakukan? Beberapa analis menyebut: karena apa yang terjadi di Gaza bukan kemenangan visual, melainkan kehancuran moral. Jika disiarkan, ia akan membunuh legitimasi perang lebih cepat daripada peluru.



Dari Gaza ke Mu’tah: Ketika Kebenaran Tak Disembunyikan

Menariknya, perbandingan ini justru membawa kita pada sebuah peristiwa jauh di masa lalu: Perang Mu’tah. Sebuah ekspedisi militer kaum Muslimin ke wilayah Romawi yang berakhir dengan gugurnya tiga panglima utama: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.

Apa yang dilakukan Rasulullah ï·º saat itu? Beliau tidak menyembunyikan kabar buruk itu. Beliau mengumpulkan para sahabat dan menggambarkan jalannya pertempuran dengan jujur: bagaimana Zaid gugur, lalu panji diambil Ja’far yang juga syahid, lalu dipegang Abdullah hingga ia pun gugur. Tak ada sensor, tak ada narasi palsu.

Namun dari kejujuran itu, justru tumbuh semangat juang luar biasa. Rasulullah ï·º menyebut ketiganya sebagai syuhada dan memperlihatkan betapa agungnya kedudukan mereka di sisi Allah. Maka meski kabar itu menyayat hati, ia tak meruntuhkan semangat, justru membangkitkan ghirah jihad. Inilah bedanya pemimpin yang membangun peradaban, bukan sekadar mempertahankan kekuasaan.



Siapa yang Menang dalam Perang Narasi?

Hamas dan IDF bisa saling tuding soal siapa yang jujur dan siapa yang manipulatif. Namun ada satu kenyataan yang tak bisa dibantah: jika Israel memang di pihak benar, mengapa ia takut pada kamera? Jika Gaza hanya sarang teror, mengapa wartawan tak diizinkan masuk? Dan jika IDF benar bertempur demi membela rakyatnya, mengapa mereka sembunyikan setiap detil perangnya?

Pada akhirnya, dalam perang yang digerakkan oleh senjata dan dikendalikan oleh sensor, kebenaran bukan lagi soal siapa yang menang. Tapi soal siapa yang berani memperlihatkan luka dan mengakui duka.

Dan dalam hal ini, Israel tampaknya lebih takut pada kenyataan daripada pada musuhnya.

"Perang Mu’tah bukan kemenangan militer, tapi kemenangan moral umat Islam—karena kebenaran disampaikan tanpa sensor, dan keberanian ditanamkan lewat kejujuran, bukan ilusi."
— Refleksi dari Sirah Nabawiyah

Mengapa Mekah Tertinggal, dan Madinah Menang? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pertanyaan “mengapa akhirnya kafir Quraisy Mekah tertin...

Mengapa Mekah Tertinggal, dan Madinah Menang?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Pertanyaan “mengapa akhirnya kafir Quraisy Mekah tertinggal oleh Madinah” bukan sekadar soal siapa yang unggul secara militer atau politik. Ini adalah soal nilai: siapa yang membangun peradaban, siapa yang mempertahankan kekuasaan. Siapa yang membuka diri terhadap kebenaran, siapa yang menolaknya karena takut kehilangan kuasa.

Sejarah awal Islam memperlihatkan kontras yang mencolok antara dua kota: Mekah—pusat kekuasaan Quraisy yang keras kepala, dan Madinah—tanah hijrah yang penuh harapan. Dalam kontras itu, kita menemukan pelajaran penting tentang arah sebuah peradaban.



1. Mekah Memelihara Kekuasaan, Madinah Membangun Peradaban

Mekah adalah kota elit. Kabilah-kabilah besar seperti Bani Umayyah dan Bani Makhzum mengendalikan Ka'bah sebagai pusat ritual dan ekonomi. Kekuasaan dipegang atas nama keturunan, simbol, dan tradisi.

Ketika Rasulullah ï·º datang membawa dakwah tauhid, mereka tidak melihatnya sebagai panggilan moral. Mereka melihatnya sebagai ancaman politik.

“Kami dan Bani Hasyim bersaing dalam kemuliaan... hingga mereka berkata: ‘Dari kami ada Nabi.’ Kapan kami bisa menyamai itu?”
— Abu Jahl (Ibnu Hisyam)

Islam mengancam seluruh ekosistem kekuasaan: domestikasi agama, dominasi ekonomi, dan sistem sosial timpang. Tauhid membongkar kesenjangan. Persamaan menghantam kasta. Dan karena itulah, ia ditolak.

Madinah sebaliknya. Rasulullah ï·º datang dan ditawarkan menjadi pemimpin. Di sana beliau membangun negara dengan Piagam Madinah, meletakkan dasar persatuan antar suku, dan memulai proyek besar: peradaban berbasis akhlak dan wahyu.



2. Mekah Penuh Hasad, Madinah Penuh Hijrah

Quraisy menolak Muhammad ï·º bukan karena tidak tahu siapa beliau, tapi karena kebenaran itu datang dari luar struktur yang mereka kuasai.

“Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari dua negeri ini?” (QS. Az-Zukhruf: 31)

Mereka tidak menerima kebenaran yang tidak lahir dari kelompok mereka sendiri. Bagi mereka, kekuasaan dan kebenaran adalah satu paket yang hanya boleh diwarisi, bukan dicari.

Berbeda dengan penduduk Madinah—terutama kaum Anshar—yang menerima Rasulullah ï·º dengan tulus. Mereka tidak merasa kalah karena menerima kebenaran dari luar. Mereka merasa diberkahi.

Orang Mekah berkata: “Kenapa dia?”
Orang Madinah berkata: “Alhamdulillah, Allah kirimkan dia kepada kami.”



3. Mekah Mematikan Akal, Madinah Menghidupkan Ilmu

Quraisy mendasarkan keyakinan mereka pada keturunan, simbol, dan tradisi. Mereka menolak berpikir. Mereka menolak bertanya.

“Kami hanya mengikuti agama nenek moyang kami.” (QS. Az-Zukhruf: 22)

Simbol-simbol seperti patung, gelar-gelar kehormatan, dan warisan kabilah dijadikan standar kebenaran. Akal dibungkam oleh adat. Kritik dianggap pengkhianatan.

Sementara di Madinah, Rasulullah ï·º menumbuhkan tradisi ilmu dan musyawarah. Akal dihargai. Hati dibimbing. Sahabat dididik menjadi pemimpin, mujahid, guru, dan hakim.

Saat Quraisy sibuk melawan wahyu, Madinah sibuk menghidupkan akal dan adab.



4. Mekah Menguasai dengan Teror, Madinah Memimpin dengan Cinta

Quraisy menggunakan siksaan, boikot, teror, dan propaganda untuk mempertahankan dominasi. Bilal, Sumayyah, Yasir—disiksa di depan umum. Bani Hasyim diboikot dan dibiarkan kelaparan. Nabi ï·º dicitrakan sebagai gila, perusak tatanan, pemecah belah.

“Jika kamu ikut Muhammad, kamu akan disiksa!”
— Narasi Quraisy

Di Madinah, kekuasaan bukan dipertahankan lewat ketakutan, tapi dibangun di atas ukhuwah, kasih sayang, dan visi kenabian.

“Jika kamu ikut Muhammad, kamu akan diselamatkan.”
— Suara Madinah



5. Mekah Terpecah karena Kepentingan, Madinah Bersatu karena Akidah

Quraisy retak dari dalam. Bani Umayyah dan Bani Makhzum bersaing dalam dominasi. Elit saling mencurigai. Mereka tidak bersatu karena cinta kebenaran, tapi karena takut kehilangan kekuasaan.

Madinah justru bersatu meski terdiri dari banyak faksi: Aus, Khazraj, Muhajirin. Mereka mengesampingkan ego suku demi iman. Piagam Madinah mempersatukan mereka dalam satu visi: kebenaran di atas segala identitas sosial.

“Kaum Anshar memberi tempat, kaum Muhajirin membawa iman. Maka Allah pun menurunkan kemenangan.”



6. Mekah Menolak Risalah, Madinah Menerima Rasul

Di Mekah, Rasulullah ï·º diusir dan dituduh sebagai perusak.
Di Madinah, beliau diterima sebagai nabi, guru, hakim, dan panglima. Di sana, wahyu dijadikan dasar negara, dan cinta dijadikan arah pembangunan.

Yang menolak kebenaran akan tersesat. Yang menerimanya akan dituntun menuju kejayaan.



Jalan Madinah untuk Umat Hari Ini

Mekah mempertahankan simbol. Madinah membangun substansi.
Mekah sombong dalam kuasa. Madinah rendah hati dalam iman.
Mekah menolak perubahan. Madinah memeluk wahyu.

Itulah sebabnya, Madinah menang. Mekah tertinggal.

Dan hari ini, jika umat ingin bangkit, mereka harus memilih jalan Madinah: iman di atas identitas, ilmu di atas warisan, dan cinta kebenaran di atas cinta kekuasaan.

Karena peradaban tidak dibangun dari kekuatan, tapi dari keberanian untuk merangkul kebenaran—meski datang dari luar lingkaran kita.

Israel di Jalur Suriah? Ketika Rezim Sibuk Berkuasa, Negara Perlahan Hancur Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di awal dekade 2010-an, P...

Israel di Jalur Suriah? Ketika Rezim Sibuk Berkuasa, Negara Perlahan Hancur

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di awal dekade 2010-an, Presiden Bashar al-Assad menghadapi gelombang protes rakyat dan pemberontakan bersenjata. Alih-alih berdialog dan membangun rekonsiliasi nasional, Assad memilih jalur represi brutal. Ia membuka front perang melawan rakyatnya sendiri, dan mengundang kekuatan asing—Rusia dan Iran—untuk mempertahankan kekuasaannya.

Hasilnya?

Suriah bukan hanya kehilangan oposisi, tapi kehilangan negara.

Hampir dua pertiga wilayah Suriah hancur. Infrastruktur luluh lantak. Ekonomi kolaps. Separuh warganya menjadi pengungsi. Yang bertahan adalah rezim, tapi yang runtuh adalah tanah airnya.



Netanyahu di Titik yang Sama?

Hari ini, dunia melihat Benjamin Netanyahu membuka begitu banyak front perang:

Di Gaza, operasi militer yang tak berujung, dengan kehancuran luar biasa.

Di Lebanon, ketegangan yang mengancam perang terbuka dengan Hizbullah.

Di Yaman, serangan drone dan rudal dari Ansharullah mengguncang jalur logistik.

Di Iran, konfrontasi terbuka melalui serangan ke konsulat dan ilmuwan.


Seolah belum cukup, Netanyahu juga menghadapi konflik internal:

Krisis konstitusi akibat reformasi yudisial.

Demonstrasi massal selama berbulan-bulan.

Polarisasi tajam antara kelompok sekuler dan ultra-ortodoks.

Penolakan sebagian elite militer terhadap kebijakan kabinet sayap kanan ekstrem.

Lalu, siapa yang kini diminta Netanyahu untuk menjaga kekuasaannya? Amerika Serikat.

Washington dikirim untuk mengawal kapal dagang Israel di Laut Merah. Armada militer AS ditempatkan di sekeliling Timur Tengah. Bahkan, miliaran dolar bantuan militer terus dikucurkan—bukan untuk membangun masa depan, tapi untuk menambal kekacauan hari ini.



Kekuasaan Bisa Bertahan, Tapi Negara Bisa Runtuh

Bashar al-Assad tetap bertahan di istananya di Damaskus. Tapi apa yang dipimpinnya?

Negara yang terfragmentasi.

Ekonomi yang bergantung pada bantuan Iran dan Rusia.

Warga yang tercerai-berai antara pengungsi, korban perang, dan oposisi yang terkubur.


Apakah Israel akan sampai ke titik itu?

Tanda-tandanya mulai terlihat:

Investor pergi.

Talenta teknologi hengkang.

Pariwisata mati.

Perdagangan terguncang.

Dunia mengecam.


Netanyahu mungkin sedang memenangkan pertempuran politik dalam negerinya. Tapi ia mulai kehilangan “negara” sebagai proyek bersama.



Rezim yang Memenangkan Kekuasaan, Tapi Mengorbankan Bangsa

Pertanyaan besarnya: untuk siapa semua ini diperjuangkan?

Rakyat Israel? Banyak yang ingin gencatan senjata.

Militer? Banyak yang frustasi dengan tujuan yang kabur.

Negara Yahudi? Dunia mulai mempertanyakan moralitas eksistensinya.

Jangan sampai, seperti Suriah, Israel hanya akan menjadi cangkang kosong dari “negara”—yang dipertahankan demi sekelompok elite, dengan biaya kehancuran nasional.



Seharusnya Mencontoh Mandela, Bukan Assad

Alih-alih mempertahankan kekuasaan dengan jalan kekerasan, Israel seharusnya belajar dari Nelson Mandela.

Mandela bukan hanya melawan apartheid, tetapi mengubah rasa dendam menjadi rekonsiliasi. Ia tidak mengandalkan kekuatan senjata, tetapi moralitas dan keadilan yang menyatukan bangsa. Ia tak takut kehilangan kekuasaan, karena yang ia perjuangkan bukan sekadar rezim, tapi masa depan bersama.

Bayangkan jika Israel memilih jalan Mandela—menerima hak Palestina, mengakui kesalahan sejarah, dan membangun perdamaian sejati. Bukan hanya dunia akan memandang hormat, tapi negara itu akan selamat dari kehancuran yang disebabkan oleh perang abadi.

Namun pertanyaan besarnya adalah:

Dengan karakter Zionisme yang eksklusif, supremasis, dan trauma masa lalu yang belum selesai—mungkinkah Israel benar-benar mengambil jalan Mandela?

Zionisme bukan sekadar proyek negara, tapi ideologi yang dibangun atas ketakutan akan punah dan keyakinan akan keistimewaan etnis. Ia meletakkan identitas negara bukan pada keadilan universal, tapi pada dominasi dan pengecualian.
Jika Mandela memilih untuk mengampuni lawan-lawan kulit putihnya, Zionisme justru hidup dari ketakutan terhadap "yang lain"—terutama jika ia Muslim dan Arab.

Inilah paradoks eksistensial Israel hari ini:

Untuk bertahan sebagai negara demokratis dan dihormati, ia harus membongkar watak dasar Zionisme.
Tapi jika watak itu dibongkar, Israel bukan lagi Israel seperti yang didefinisikan oleh para pendirinya.



Penutup

Rezim Assad bertahan, tapi Suriah hancur.
Jika Netanyahu tidak berhenti membakar, Israel mungkin menyusul.

Negara yang sibuk memerangi semua musuhnya, akan lupa membangun dirinya.
Dan pada akhirnya, yang kalah bukan hanya yang di luar pagar—tapi juga yang memegang kendali di dalam.

Sebuah bangsa bisa bangkit dari luka sejarah, tapi tidak dari kesombongan yang menolak perdamaian.

Ketika Negara Arab Melesat, Israel Terseret oleh Perangnya Sendiri Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejak 7 Oktober 2023, peta politik...

Ketika Negara Arab Melesat, Israel Terseret oleh Perangnya Sendiri

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Sejak 7 Oktober 2023, peta politik dan ekonomi Timur Tengah mengalami pergeseran yang mengejutkan. Saat Israel terjebak dalam konflik yang makin meluas—di Gaza, perbatasan Lebanon, Laut Merah, dan bahkan dalam negeri sendiri—negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar justru mencatat lonjakan investasi, kemajuan teknologi, dan konsolidasi diplomatik yang stabil.

Ironi ini semakin mencolok: negara yang mengandalkan kekuatan militer, kini mulai kalah dalam perlombaan teknologi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sementara itu, tetangganya yang dulu dianggap tertinggal, justru mulai memimpin narasi pembangunan masa depan Timur Tengah.



Investasi Mengalir ke Teluk, Menjauh dari Israel

Salah satu indikator paling mencolok adalah aliran dana investasi asing langsung (FDI). Sepanjang 2023:

Arab Saudi berhasil menarik lebih dari $30 miliar FDI, berkat proyek ambisius NEOM dan program Vision 2030 yang membuka berbagai sektor non-migas.

UEA mencatat $23 miliar FDI, didorong oleh regulasi bisnis yang ramah investor dan posisi strategis Dubai sebagai pusat perdagangan global.

Qatar, meskipun berukuran kecil, tetap mampu meraup sekitar $6–7 miliar FDI, terutama pasca kesuksesan Piala Dunia dan penguatan sektor teknologi.


Di sisi lain, arus investasi ke Israel justru anjlok. Menurut laporan Bloomberg dan sumber ekonomi dalam negeri, FDI Israel turun lebih dari 60% pada kuartal pertama 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Bank Mizrahi Tefahot, salah satu lembaga keuangan terbesar Israel, bahkan memperingatkan bahwa negara itu kini berada pada “titik paling berbahaya sejak berdirinya” akibat eksodus investor dan ketidakstabilan politik berkepanjangan.



Kekhawatiran dari Dalam Negeri Israel Sendiri

Sejumlah tokoh penting Israel mulai angkat bicara. Prof. Aaron Ciechanover, pemenang Nobel dan tokoh akademik terkemuka, menyebut adanya fenomena “silent departure”—yaitu keluarnya para elite teknologi dan intelektual dari Israel akibat perang dan fragmentasi internal.

Prof. Eugene Kandel, mantan kepala Dewan Ekonomi Nasional Israel, bahkan menyebut fenomena ini sebagai ancaman eksistensial, bukan sekadar tantangan teknis. Bagi Kandel, hilangnya kepercayaan investor dan tenaga profesional akan menghantam jantung kekuatan inovatif Israel dalam jangka panjang.



Israel Kehilangan Momentum Teknologi

Israel selama ini dikenal sebagai “Start-Up Nation.” Namun sejak perang berkecamuk dan tensi politik meningkat, ekosistem teknologi Israel mulai stagnan:

Menurut Yariv Kesner, seorang investor teknologi, dukungan negara terhadap sektor AI dan semikonduktor kini tertinggal dibandingkan Arab Saudi dan UEA.

Amir Mizroch, analis teknologi Israel, menyatakan bahwa negara-negara Teluk telah melampaui Israel dalam skala infrastruktur digital, energi bersih, dan pusat data.


Kontrasnya tajam. UEA membangun universitas AI pertama di dunia. Arab Saudi mengalokasikan $40 miliar untuk pengembangan AI dan robotika. Qatar memperluas proyek Smart Nation dengan dukungan global. Sementara itu, di Israel, sebagian besar tenaga profesional teknologi malah kembali ke barak militer—menjadi tentara cadangan.



Negara Arab Menang Karena Stabilitas

Kunci kemajuan negara-negara Teluk bukan hanya uang, tapi stabilitas dan visi jangka panjang. Arab Saudi, UEA, dan Qatar kini menawarkan kepada dunia:

Kepastian hukum dan politik.

Arah pembangunan nasional yang jelas.

Infrastruktur teknologi modern.

Kekuatan diplomasi yang tumbuh, bukan terjebak dalam konflik.


Sebaliknya, Israel menghadapi polarisasi internal, reformasi yudisial yang memicu krisis konstitusi, serta tekanan ekonomi akibat perang yang tak kunjung usai.



Bangun atau Terus Berperang?

Israel mungkin masih menang dalam hal serangan militer dan kekuatan intelijen. Tapi perang bukan satu-satunya medan kontestasi abad ini. Yang menentukan masa depan adalah inovasi, kestabilan, dan kemampuan beradaptasi terhadap arus global.

Sementara negara-negara Arab belajar dan bergerak menuju era pascaminyak, Israel justru terjebak dalam siklus militerisasi dan ketegangan internal.

Sebuah bangsa tidak akan bisa membangun masa depan, jika setiap hari waktunya habis untuk berperang di masa kini.



Penutup

Apa yang terjadi hari ini adalah pergeseran halus tapi dalam: Israel mulai kehilangan daya tariknya sebagai pusat inovasi dan stabilitas, sementara negara-negara Arab mulai mengambil posisi sebagai pemimpin pembangunan Timur Tengah.

Kemenangan bukan hanya soal peluru, tapi juga soal rencana.
Dan hari ini, rencana-rencana besar itu sedang digambar di Riyadh, Doha, dan Abu Dhabi—bukan di Tel Aviv.

Abu Bashir, Ansharullah dan Perlawanan dari Pinggiran  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam sejarah Islam, tak semua tokoh besar dik...


Abu Bashir, Ansharullah dan Perlawanan dari Pinggiran 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam sejarah Islam, tak semua tokoh besar dikenal karena berada di panggung utama. Ada yang hadir dari pinggiran, namun getarannya menjungkirbalikkan sistem yang mapan. Abu Bashir al-‘Utqi adalah salah satunya. Ia bukan panglima, bukan penandatangan perjanjian Hudaibiyah. Tapi perlawanan kecilnya mengubah isi pasal dan membuat Quraisy menyerah tanpa perang.

Kini, lebih dari 1.400 tahun setelahnya, semangat Abu Bashir tampaknya hidup kembali, kali ini di pegunungan Yaman, dalam rupa rudal dan drone Ansharullah yang mengguncang jalur ekonomi Laut Merah. Dan sejarah, sekali lagi, bicara dengan nada yang sama: jika keadilan ditahan oleh teks perjanjian, maka perlawanan akan lahir dari luar teks itu sendiri.



Hudaibiyah dan Perlawanan Abu Bashir

Perjanjian Hudaibiyah yang ditandatangani antara Rasulullah ï·º dan Quraisy pada tahun ke-6 Hijriyah menyepakati beberapa hal: di antaranya, siapa pun dari Makkah yang melarikan diri ke Madinah harus dikembalikan, sedangkan yang lari dari Madinah ke Quraisy tidak boleh ditahan. Pasal ini terasa timpang, namun diterima Rasulullah ï·º demi membuka peluang dakwah jangka panjang.

Tak lama, datanglah Abu Bashir, seorang Muslim yang disiksa oleh Quraisy, meminta perlindungan ke Madinah. Namun karena terikat perjanjian, Rasulullah ï·º berkata:

“Wahai Abu Bashir, kita telah terikat janji. Aku tak bisa menolongmu. Tapi yakinlah, Allah akan membukakan jalan.”

Abu Bashir dikembalikan. Tapi dalam perjalanan pulang, ia membunuh salah satu pengawal Quraisy dan melarikan diri. Ia tidak kembali ke Madinah, karena itu akan melanggar pasal. Sebaliknya, ia mendirikan markas kecil di pesisir Laut Merah, tepat di jalur dagang Quraisy.

Di sanalah ia membangun gerakan perlawanan ekonomi. Para pelarian lain bergabung, termasuk Abu Jandal bin Suhail. Bersama, mereka menyerang kafilah Quraisy yang lewat, merampas barang dagangan, dan memutus jalur ekonomi Makkah–Syam.

Akhirnya, Quraisy tak tahan. Mereka meminta Rasulullah ï·º menerima para pelarian, dan mencabut pasal yang mereka buat sendiri. Abu Bashir menang tanpa menandatangani apa pun.



Laut Merah Hari Ini: Rudal dan Ekonomi Zionis

Sejarah seperti mengulang dirinya—bukan dalam bentuk, tapi dalam strategi. Ketika Israel menggempur Gaza, dan dunia Arab bungkam oleh normalisasi, muncul serangan dari arah yang tak terduga: Ansharullah di Yaman.

Kelompok ini tidak duduk di meja PBB. Mereka tidak hadir di KTT normalisasi. Tapi rudal dan drone mereka menutup jalur pelayaran Laut Merah, menarget kapal dagang yang terkait Israel dan sekutu Barat.

Akibatnya:

Kapal-kapal besar menghindari Terusan Suez dan berlayar jauh ke Tanjung Harapan.

Biaya logistik naik drastis.

Ekspor-impor Israel terganggu.

Sektor pariwisata Israel mati suri.

Kepercayaan investor ambruk.


Dan seperti Quraisy dulu, pakar-pakar Israel mulai menganjurkan gencatan senjata—bukan karena belas kasih, tapi karena perhitungan ekonomi.



Seperti Quraisy, Pakar Israel Mulai Memohon Gencatan

Sejumlah analis militer dan ekonom Israel kini mendesak pemerintah Netanyahu untuk menghentikan perang di Gaza. Mereka tidak bicara moral, tapi realitas:

“Jika Gaza tidak dihentikan, Laut Merah akan terus terbakar. Kita tidak bisa membiayai dua front perang sekaligus.”

Ini persis seperti Quraisy yang akhirnya meminta Nabi ï·º untuk menerima para pelarian dan menghentikan gangguan terhadap jalur dagang. Mereka mencabut pasal bukan karena kalah perang, tapi karena kalah dalam ekonomi.



Abu Bashir, Rudal, dan Jalan Sunyi Perlawanan

Abu Bashir dulu bukan bagian dari perjanjian, tapi ia mengubah jalannya.

Ansharullah hari ini bukan bagian dari perundingan internasional, tapi mereka mengubah jalur ekonomi dan psikologis perang.

Dan pelajaran yang diwariskan oleh sejarah adalah ini:

“Jika jalur damai dikunci dengan ketimpangan, maka perlawanan akan mencari celahnya. Dan kadang, celah itu datang dari yang paling sunyi.”

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (504) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (249) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)