Kepedihan Pengobar Semangat: Jika Rasulullah Gugur, Untuk Apa Kita Hidup?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dalam sejarah Islam, ada saat-saat ketika kabar buruk justru melahirkan semangat paling dahsyat. Bukan karena para sahabat Rasulullah ï·º tidak berduka, tapi karena mereka tahu: bila kebenaran telah berdarah, maka tak ada lagi alasan untuk hidup dalam kemewahan, ketakutan, atau kompromi.
Di Perang Uhud, kabar gugurnya Nabi ï·º sempat tersebar. Di Perang Mu’tah, tiga panglima Islam benar-benar syahid satu per satu. Di Perang Hunain, pasukan Muslim tercerai-berai. Namun semua momen ini tidak membuat pasukan hancur—justru membangkitkan kekuatan spiritual yang lebih dalam: bahwa hidup hanya bermakna jika dilanjutkan untuk cita-cita yang telah diperjuangkan para syuhada.
Dan semangat ini tidak berhenti di abad ke-7. Hari ini, kita menyaksikan para pejuang Palestina terus bertempur meski istri, anak, orang tua, bahkan para komandan tertinggi mereka dibunuh satu per satu. Seolah mereka sedang berkata, seperti sahabat dahulu:
"Jika pemimpin kami gugur, maka biarlah kami menyambung jalan mereka dengan darah kami!"
Uhud: Ketika Kabar Syahid Rasulullah ï·º Menjadi Api Semangat
Saat pasukan Muslim hampir menang di Uhud, mereka lengah. Kemudian pasukan Quraisy menyerbu balik dari belakang bukit. Dalam kekacauan itu, Rasulullah ï·º terluka parah. Kabar tersebar: Muhammad telah gugur!
Namun inilah detik-detik lahirnya syahadat aksi para sahabat. Anas bin Nadhr, yang belum ikut Perang Badar, berkata dengan suara membakar:
"Wahai kaum Anshar! Jika Muhammad telah terbunuh, maka apa gunanya hidup sesudahnya? Bangkitlah! Mati sebagaimana ia mati!"
(HR. Muslim)
Dan Al-Qur’an mengabadikan semangat ini dalam bentuk peringatan ilahi:
"Dan Muhammad hanyalah seorang rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh, kamu akan berbalik ke belakang? Barang siapa yang berbalik, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun."
(QS. Ali Imran: 144)
Ini bukan sekadar ayat. Ini alarm iman. Bahwa perjuangan bukan untuk pribadi, tapi untuk risalah.
Mu’tah: Visualisasi Kematian yang Membakar Jiwa Kaum Beriman
Di medan perang Mu’tah, tiga panglima besar gugur berurutan: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Rasulullah ï·º tidak menyembunyikan tragedi ini. Di Madinah, beliau menyampaikan kejadian itu secara langsung:
"Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah dan ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib dan ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan ia terbunuh pula. Lalu panji itu diambil oleh pedang dari pedang-pedang Allah: Khalid bin al-Walid, dan Allah memberinya kemenangan."
(HR. Bukhari)
Bayangkan: Rasulullah ï·º menggambarkan satu demi satu sahabatnya gugur, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membakar semangat. Dan itu berhasil. Gugurnya tiga pemimpin besar tak menghentikan langkah, justru membentuk batu loncatan bagi kemenangan moral yang tak terlupakan.
Hunain: Pasukan Kocar-kacir, Tapi Alumni Badar Kembali Mengeras
Perang Hunain diawali dengan keunggulan jumlah. Namun jebakan lembah membuat pasukan Muslim porak-poranda. Rasulullah ï·º berdiri tegak, menyerukan:
"Aku adalah Nabi, tidak berdusta! Aku adalah anak Abdul Muthalib!"
(HR. Muslim)
Saat sebagian besar pasukan lari, yang bertahan adalah segelintir veteran Perang Badar. Mereka bukan pasukan elit secara fisik, tapi mereka punya kekuatan spiritual dan pengalaman darah. Mereka kembali membentuk barisan, dan seruan Rasul menjadi pusat gravitasi iman.
"Dan di hari Hunain, ketika jumlahmu yang banyak membuatmu bangga, namun itu tidak berguna sama sekali bagi kalian..."
(QS. At-Taubah: 25)
Allah mengingatkan: bukan jumlah, tapi keteguhan yang memberi kemenangan.
Gaza: Ketika Syahid Komandan dan Keluarga Menjadi Energi Perlawanan
Hari ini, kita menyaksikan ulang semangat itu. Saat Israel membunuh komandan-komandan Hamas, Jihad Islam, dan para tokoh perlawanan, semangat justru tidak padam. Ketika keluarga mereka dibantai—istri, anak, saudara—pejuang Palestina tidak meninggalkan medan. Mereka menatap kamera dan berkata:
"Kami mencintai syahid seperti musuh kami mencintai hidup."
Para pejuang itu tidak lahir dari pabrik militer, tapi dari reruntuhan rumah, dari jenazah ayah, dari tangisan adik. Mereka tidak butuh orasi panjang—cukup satu suara panggilan: "Ribath fi Sabilillah!"
Seorang anak pejuang Palestina yang kehilangan seluruh keluarganya berkata dalam wawancara:
"Jika ibu dan ayahku dibunuh karena mereka Muslim, maka biarlah aku meneruskan hidup mereka dengan senapan."
Ini adalah Mu’tah di abad ke-21. Ini adalah Uhud di bawah langit Rafah. Ini adalah Hunain yang tidak lagi memerlukan jumlah, tapi niat.
Mengapa Karakter Ini Bisa Lahir?
Karena tauhid bukan teori. Karena syahadat bukan sekadar dua kalimat. Ia adalah janji hidup dan mati. Rasulullah ï·º tidak membesarkan umat pengecut. Beliau menanamkan dalam dada para sahabat:
"Wahai manusia, janganlah kalian mengharap pertemuan dengan musuh, tapi jika kalian terpaksa bertemu, maka bersabarlah! Ketahuilah bahwa surga berada di bawah bayang-bayang pedang."
(HR. Bukhari)
Inilah kenapa mereka tidak gentar. Inilah kenapa Palestina tidak menyerah.
Jika Mereka Gugur, Mengapa Kita Diam?
Jika kabar syahid Rasulullah ï·º membakar semangat sahabat, jika kematian para panglima membuat barisan semakin padat, jika kehancuran di Hunain justru melahirkan kemenangan—maka apa alasan kita untuk tidak bergerak saat hari ini umat kembali berdarah?
Kita tak diminta berperang jika tak mampu. Tapi kita pasti diminta untuk tidak tinggal diam. Hati, doa, harta, dan suara—semuanya bisa jadi peluru.
Jangan hanya jadi penonton. Karena sejarah tidak menulis penonton. Sejarah hanya mencatat siapa yang bertahan di jalan Nabi, meski semua kabar di sekitarnya buruk.
"Jika Muhammad telah terbunuh, maka bangkitlah! Mati sebagaimana ia mati!"
— Anas bin Nadhr, Uhud
"Surga itu berada di bawah bayang-bayang pedang."
— HR. Bukhari
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif