Gerbong yang Tidak Pernah Dihentikan: Mengapa Munafikin Dibiarkan dalam Barisan Umat?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di antara lembaran perang dan wahyu, ada satu bab yang tak pernah ditutup: gerbong kaum munafik. Mereka tidak pernah memulai perang besar, tapi selalu menjadi luka kecil yang tak sembuh-sembuh. Mereka tidak memikul pedang, tapi melumpuhkan daya tempur. Tidak mengangkat panji, tapi menggoyahkan semangat. Mereka bukan kafir terang-terangan. Mereka lebih licik: bersembunyi di balik takbir dan saf shalat.
Yang mencengangkan: Rasulullah ï·º membiarkan mereka tetap dalam barisan. Bahkan setelah mereka:
1. Melemahkan daya tempur dalam setiap ekspedisi (Uhud, Tabuk)
2. Merancang pembunuhan terhadap Nabi ï·º (Peristiwa Aqabah)
3. Menyebar fitnah kehormatan terhadap Aisyah RA (Haditsul Ifki)
4. Mendirikan masjid makar (Masjid Dhirar)
5. Bersekongkol dengan Yahudi dan Quraisy dalam senyap
Mengapa tidak ada gelombang penangkapan? Mengapa tidak ada eksekusi? Mengapa nama-nama mereka hanya dipegang oleh satu sahabat: Hudzaifah bin Al-Yaman—dan tidak diumumkan ke publik?
Ini bukan kelemahan strategi. Ini adalah strategi kenabian tingkat tinggi, melampaui logika kekuasaan dan dendam politik. Ini adalah senyap yang menyelamatkan umat dari ledakan fitnah internal.
Kaum Munafik: Musuh yang Tidak Pernah Diusir
Mereka bukan orang luar. Mereka bagian dari masyarakat Muslim. Mereka ikut perang, ikut majelis, bahkan menjadi juru bicara komunitas. Tapi mereka punya misi terselubung: melemahkan dari dalam.
1. Di Tabuk, mereka menyebarkan ketakutan dan rasa malas:
“Jangan pergi dalam panas ini!” (QS. At-Taubah: 81)
2. Di Aqabah, mereka menyusun rencana pembunuhan Nabi ï·º—menyusup malam hari dan mencoba menjatuhkan unta beliau dari celah gunung.
3. Di Madinah, mereka membangun Masjid Dhirar—bukan untuk shalat, tapi untuk menyusun konspirasi.
4. Dalam peristiwa Haditsul Ifki, mereka menebar gosip keji terhadap Aisyah RA, istri Nabi ï·º, untuk menghancurkan reputasi beliau dari dalam rumah.
5. Dalam perang-perang besar, mereka kerap menyebar desersi, menggembosi semangat, dan membocorkan informasi ke musuh.
Mengapa Rasulullah ï·º Tidak Mengumumkan Nama-Nama Mereka?
Dalam tekanan situasi dan tuntutan sahabat, Nabi ï·º tetap merahasiakan identitas kaum munafik. Hanya satu orang yang diberi daftar nama: Hudzaifah bin Al-Yaman.
Umar bin Khattab RA yang tegas pun bertanya:
“Apakah aku termasuk?”
Bahkan saat memilih pejabat, Umar mengamati siapa yang dishalatkan oleh Hudzaifah—dan siapa yang tidak. Tapi Hudzaifah tetap menjaga rahasia. Ini bukan soal individu. Ini adalah proyek besar menjaga kohesi umat.
Nabi ï·º bersabda:
“Jika aku membunuh mereka, orang-orang akan berkata: Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”
(HR. Bukhari)
Bayangkan efek sosialnya: runtuhnya kepercayaan publik, fitnah massal, dan kekacauan internal. Nabi ï·º tidak sedang menyelamatkan dirinya—beliau sedang menyelamatkan masa depan umat.
Ini Bukan Kelemahan—Ini Strategi Kelas Tertinggi
Rasulullah ï·º tidak membiarkan pengkhianat hidup tanpa sebab. Beliau:
1. Mengawasi dengan cermat
2. Mencatat secara pribadi
3. Menunggu waktu hingga masyarakat sendiri menyaksikan kontradiksi dan kelicikan mereka
Inilah strategi “exposure through contradiction”—membiarkan mereka terbongkar oleh diri mereka sendiri.
Seperti dalam kasus Abdullah bin Ubay bin Salul, yang berkata:
“Jika kita kembali ke Madinah, yang mulia akan mengusir yang hina.”
Tapi justru anak kandungnya sendiri yang menghadangnya dan berkata:
“Engkau tidak akan masuk Madinah kecuali dengan izin Rasulullah ï·º.”
Itu pukulan moral yang lebih telak daripada pedang.
Membangun Imunitas Moral, Bukan Membunuh Virusnya
Rasulullah ï·º mengajarkan:
“Bangun masyarakat yang tahan terhadap racun. Bukan hanya membunuh peracun satu per satu.”
Andai Nabi ï·º mengeksekusi satu munafik hari ini, besok bisa lahir dua, karena umat mulai saling curiga. Tapi jika umat dibangun dengan:
1. Pendidikan iman
2. Kecerdasan akal
3. Kepekaan sosial
4. Kebersihan hati
Maka racun akan ditolak otomatis. Umat akan membentengi dirinya sendiri.
Refleksi Zaman Ini: Siapa Munafik Hari Ini?
Mereka tidak selalu berpakaian aneh. Kadang berjubah, bersorban, lantang bicara tentang keadilan—tapi menjadi agen pembusukan dari dalam.
Kadang mereka membangun “masjid” bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk platform digital, media, forum, atau LSM yang menyebarkan keraguan terhadap Islam.
Mereka tidak frontal, tapi menyusup, menggoyahkan kepercayaan umat, menyuntikkan ideologi musuh lewat kanal yang "halal".
Dan sayangnya, kita sibuk memburu kafir di luar, tapi lalai membaca gerbong pengkhianat di dalam.
Utsman bin ‘Affan: Mewarisi Strategi Kenabian
Gerbong ini tak berhenti di zaman Nabi ï·º. Di masa Khalifah Utsman bin ‘Affan RA, kaum munafik berwajah revolusioner kembali bergerak.
Mereka menyebar propaganda dari Mesir, Kufah, dan Basrah. Merekayasa dokumen, menyebarkan fitnah, dan memprovokasi opini publik.
Tapi Utsman RA tidak memerintahkan penumpasan massal. Ketika para sahabat menyarankan untuk membunuh para pemberontak, beliau menjawab:
“Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang menumpahkan darah kaum Muslimin.”
Tapi Utsman RA juga tidak menyerahkan kekuasaan kepada mereka. Ia tetap bertahan di rumahnya, menjaga legitimasi kekhalifahan. Ia memilih mati syahid dalam sabar, bukan menyerahkan kekuasaan kepada kaum pengacau yang menyamar sebagai penuntut kebenaran.
Beliau memegang amanah Nabi ï·º:
“Akan datang suatu masa, engkau (wahai Utsman) akan diperintahkan untuk melepas baju yang Allah pakaikan kepadamu. Tapi jangan lepaskan.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban)
Gerbong Ini Masih Berjalan—Apakah Kita Sadar?
“Umat ini tidak akan tumbang oleh tentara kafir, tapi akan remuk oleh racun yang disebar dari dalam, jika tak ada yang menjaga kesadaran.”
Gerbong munafikin masih diluncurkan. Tapi strategi Rasulullah ï·º dan para Khulafaur Rasyidin masih hidup:
1. Menjaga rahasia, bukan membabi buta
2. Menahan emosi, bukan reaktif membakar
3. Membangun benteng iman, bukan paranoia
4. Melatih kesadaran umat, bukan kultus kepemimpinan
Bukan Lagi Pertanyaan: Siapa Munafik Hari Ini?
Pertanyaannya adalah:
Apakah kita sudah membangun masyarakat yang kebal terhadap pengkhianatan?
Atau justru membuka pintu dan membiarkan gerbong itu lewat, lengkap dengan sambutan dan karpet merah?
Gerbong ini tidak pernah berhenti. Tapi kita bisa memilih:
Menjadi penumpang yang tertipu...
atau menjadi penjaga yang sadar.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif