Jihad Ruhani Para Sultan Jawa: Di Antara Senjata dan Sujud
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di balik gegap gempita genderang perang, gemuruh takbir, dan pekik perlawanan yang menggema dari balik benteng-benteng kesultanan di Jawa, terdapat sesuatu yang tak kasat mata—namun justru menjadi akar dari semua keberanian itu: bekal spiritual. Para sultan tak hanya berdiri sebagai pemimpin duniawi, tetapi juga sebagai imam ruhani yang memandu umat menuju kemenangan yang bermartabat, baik di bumi maupun di sisi Tuhan.
Mereka paham, penjajahan bukan sekadar penaklukan wilayah dan pengurasan sumber daya. Penjajahan adalah pengoyakan iman, penggerusan adab, dan perobekan ruh perjuangan. Maka, perlawanan mereka pun tak pernah kering dari munajat dan dzikir, dari ayat-ayat Al-Qur’an hingga butir-butir hikmah para wali.
Surat-Surat Ilahi yang Dihidupkan Sebelum Menyerbu
Dalam tiap pertemuan rahasia, ketika para panglima dan ulama berkumpul di serambi masjid kesultanan, selalu ada tilawah—lantunan suci yang membuka jalur langit. Surat Al-Anfal menjadi bacaan pokok: menyuntikkan semangat jihad, menyusun strategi, dan mengingatkan pasukan bahwa kemenangan bukan sekadar taktik, tapi karunia Allah.
Surat At-Taubah dibaca saat jiwa mulai berat—karena isinya adalah seleksi iman. Hanya mereka yang menjual dirinya kepada Allah yang layak turun ke medan laga. Di waktu malam, menjelang pergerakan, terdengar bacaan Surat Al-Fath, membasuh kecemasan dengan janji kemenangan. Dan bila pertempuran makin dekat, Surat Yasin pun mengalir sebagai pelindung ruhani, sedangkan Al-Hasyr menjadi wirid untuk membentengi pasukan dari makar musuh yang tak terlihat.
Dzikir-Dzikir yang Menyulam Hati Prajurit
Setiap malam sebelum pertempuran, kesultanan menggelar dzikir berjamaah. Ratib al-Haddad dan Ratib al-Attas menjadi alunan khas. Bukan hanya suara, tapi nafas mereka memahat keberanian. Dalam ratib itu terdapat nama-nama Allah yang menguatkan hati, ayat-ayat penjaga dari kejahatan, serta istighfar yang menjernihkan niat.
Dzikir bukan hanya repetisi suara, ia adalah pengokoh ruh jihad. Dalam malam-malam dingin di bawah langit pesisir Gresik, Banten, atau Yogyakarta, santri dan prajurit duduk bersimpuh, menggenggam tasbih, memeluk senjata, dan memantapkan diri: “Kami tidak sendiri. Allah beserta kami.”
Hizb: Perisai Batin dari Langit
Ketika pasukan kolonial datang dengan senapan, meriam, dan tipu daya, para sultan menyiapkan pasukannya bukan hanya dengan strategi militer, tapi dengan hizb—doa-doa para wali yang menjadi perisai batin.
Hizb al-Nashr, karya Imam Syadzili, menjadi andalan. Isinya seperti kabut kepercayaan yang melingkupi barisan—dzikir yang tidak hanya membakar semangat, tapi menyelimuti mereka dengan tawakal. Dalam perjalanan laut atau misi rahasia melewati perairan, dibacalah Hizb al-Bahr. Bukan karena laut menakutkan, tapi karena pasukan tahu bahwa musuh datang dari segala penjuru.
Doa Para Nabi, Lintasan Cahaya dari Sejarah
Doa Nabi Musa:
"Rabbi syrahli shadri wa yassirli amri..."
menjadi andalan para pemimpin dan juru bicara. Mereka memohon bukan hanya keberanian, tapi kejernihan logika, kelancaran lisan, dan kesabaran hati.
Sementara itu, doa Nabi Muhammad ï·º saat Perang Ahzab:
"Ya Allah, turunkanlah pertolongan, hancurkan pasukan musuh..."
dibacakan dalam malam-malam menjelang serangan kolonial, saat benteng telah mengepung, dan hanya langit yang tersisa untuk diandalkan.
Kitab-Kitab Hikmah yang Mengajarkan Jalan Terjal
Di ruang-ruang pengajian istana, para sultan duduk bersama ulama, membahas bukan strategi perang, tapi strategi membersihkan hati. Mereka membaca Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali—mengenali hakikat niat, takut akan riya, dan berani karena keyakinan.
Kitab Nashaih al-‘Ibad karya Imam Nawawi al-Bantani menjadi pegangan utama dalam mendidik santri, rakyat, dan prajurit. Di dalamnya diajarkan, bahwa melawan penjajah adalah bagian dari menjaga agama dan kehormatan umat.
Sedangkan Kitab al-Hikam Ibnu Atha’illah membentuk pribadi-pribadi tahan derita:
“Jangan bergantung pada hasil. Tugasmu hanya berjuang. Hasil adalah wilayah Tuhan.”
Di Antara Takbir dan Tombak
Perlawanan para sultan di Jawa bukan sekadar sejarah tempur, tetapi sejarah ruhani. Mereka tahu, meriam bisa dibeli oleh penjajah, tapi iman tidak bisa direbut kecuali dengan kelalaian sendiri. Karena itu, mereka membekali tentaranya bukan hanya dengan pelatihan fisik, tetapi dengan dzikir yang menghujam, doa yang memeluk langit, dan ilmu yang memurnikan niat.
Maka bila mereka gugur, mereka gugur dalam sujud. Bila menang, mereka sujud dalam syukur. Karena perang yang mereka menangkan bukan hanya soal tanah, tetapi soal kehormatan langit.
"Senjata bisa patah, kuda bisa lelah, tapi ruh yang dibakar dzikir tak akan pernah mati."
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif